Senin, 28 Maret 2011

BAGAIMANA DENGAN PERBATASAN LAUT KITA ?

PENDAHULUAN

Batas wilayah negara adalah batas-batas imajiner pada permukaan bumi yang memisahkan wilayah negara dengan negara lain yang umumnya terdiri dari perbatasan darat, laut dan udara. Namun beberapa pakar mengatakan bahwa perbatasan bukan hanya semata-mata garis imajiner yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya, tetapi juga sebuah garis dalam daerah perbatasan terletak batas kedaulatan dengan hak-hak kita sebagai negara yang harus dilakukan dengan undang-undang sebagai landasan hukum tentang batas wilayah NKRI yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu pengaturan mengenai batas wilayah ini perlu mendapat perhatian untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia. Jelasnya batas wilayah NKRI sangat diperlukan untuk penegakan hukum dan sebagai wujud penegakan kedaulatan.1

Di dalam hukum internasional, diakui secara politik dan secara hukum bahwa minimal tiga unsur yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yaitu:1) rakyat; 2) wilayah; 3) pemerintahan; 4) pengakuan dunia internasional (ini tidak mutlak). Kalau tidak ada pun tidak menyebabkan sebuah negara itu tidak berdiri. Wilayah sebuah negara itu harus jelas batas-batasnya, ada batas yang bersifat alami, ada batas-batas yang buatan manusia. Batas yang bersifat alami, misalnya sungai, pohon, danau, sedangkan yang bersifat buatan manusia, bisa berupa tembok, tugu, termasuk juga perjanjian-perjanjian internasional. Batas-batas tersebut kita fungsikan sebagai pagar-pagar yuridis, pagar-pagar politis berlakunya kedaulatan nasional Indonesia dan yurisdiksi nasional Indonesia.

Pembangunan serta pengelolaan wilayah perbatasan pada intinya menyangkut dua hal yakni perbatasan antar negara dalam arti kawasan yang berbatasan langsung antara negara Indonesia dengan negara tetangga dan perbatasan antar daerah dalam hal ini kawasan/wilayah yang terletak diantara perbatasan propinsi yang satu dengan Propinsi yang lain dan atau antara Kabupaten/Kota yang satu dengan Kabupaten/Kota yang lain.

Dihadapkan dengan berbagai permasalahan di wilayah perbatasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka untuk mendayagunakan masyarakat di wilayah perbatasan dirumuskan kebijaksanaan sebagai berikut : “Mewujudkan pendayagunaan potensi wilayah perbatasan laut, melalui penetapan peraturan perundang-undangan batas antar negara, batas antar daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, mensinergikan pengelolaan wilayah perbatasan dan mengintensifkan pembinaan masyarakat di perbatasan guna mendukung pembangunan nasional dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa“.

Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional yang antara lain ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan yang ada didalamnya yaitu diperlukan adanya keseimbangan antara faktor peningkatan kesejahteraan (prosperity factor) dan faktor keamanan (security factor). Dalam mendayagunakan wilayah perbatasan laut akan dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis baik pada tataran global, regional maupun nasional yang akan memberikan dampak terhadap berbagai aspek kebijakan di daerah pada tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada aspek-aspek kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam. Demikian juga dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai revisi terhadap Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 telah memberikan payung hukum yang lebih jelas kepada Pemerintah Daerah untuk mendayagunakan potensi wilayah di daerah utamanya di daerah perbatasan.

Nilai strategis kawasan perbatasan tersebut menuntut perhatian khusus dalam penataan ruang kawasan. Dalam penataan ruang nasional, kawasan perbatasan merupakan kawasan yang diprioritaskan untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang tersebar di lautan dengan luas 75% dari luas teritorial RI.



PERMASALAHAN PERBATASAN LAUT

Isu keamanan laut cukup perlu perhatian serius. Isu keamanan laut tersebut meliputi ancaman kekerasan (pembajakan , perompakan dan sabotase serta teror obyek vital), ancaman navigasi (kekurangan dan pencurian sarana bantu navigasi), ancaman sumber daya (perusakan serta pencemaran laut dan ekosistemnya), dan ancaman kedaulatan dan hukum (penangkapan ikan secara ilegal, imigran gelap, eksporasi dan ekspoitasi sumber kekayaan alam secara ilegal, termasuk pengambilan harta karun, penyelundupan barang dan senjata, serta penyelundupan kayu gelondongan melaui laut). Isu keamanan laut memiliki dimensi gangguan terhadap hubungan internasional Indonesia .

Berdasarkan data Internasional Maritime Bureau (IMB) Kuala Lumpur tahun 2001, dari 213 laporan pembajakan dan perompakan yang terjadi di perairan Asia dan kawasan Samudera Hindia, 91 kasus diantaranya terjadi di perairan Indonesia. Namun data pemerintah Indonesia yang dikeluarkan oleh TNI-AL, menyatakan bahwa selama tahun 2001 terjadi 61 kasus yang murni dikatagorikan sebagai aksi pembajakan dan perompakan dengan lokasi tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan angka oleh kedua institusi tersebut, namun data tersebut menunjukan bahwa keamanan perairan Indonesia pada dekade terakhir memiliki ancaman dan gangguan keamanan yang cukup serius dan perlu penangan segera.

Internasional Maritime Organization (IMO) menyatakan bahwa aksi perompakan yang terjadi diperairan Asia Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara adalah yang tertinggi di dunia. Pelaku perompakan tidak hanya menggunakan senjata tradisional, tetapi juga senjata api dan peralatan berteknologi canggih. Keamanan di laut merupakan masalah yang kompleks karena upaya untuk mengatasi perompakan di laut tidak dapat dilakukan hanya oleh satu negara saja, tetapi melibatkan berbagai negara dan organisasi internasional. Karena itu upaya mewujudkan keamanan di laut memerlukan kerja sama yang erat antarnegara.

Disamping masalah perompakan, penyelundupan manusia melalui perairan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, juga cenderung meningkat. Australia yang berada di bagian selatan kawasan Asia Tenggara, merupakan salah satu negara tujuan para imigran gelap. Hal tersebut menjadikan perairan di kawasan Asia Tenggara, termasuk perairan Indonesia, menjadi jalur laut menuju benua tersebut. Penyelundupan manusia tidak dapat dipandang sebagai masalah yang sederhana. Upaya penanggulangannya melibatkan beberapa negara dengan berbagai kepentingan yang berbeda, terutama keamanan, kemanusiaan, ekonomi, dan politik. Kegiatan migrasi ilegal berskala besar kerap kali dilakukan oleh organisasi yang memiliki jaringan internasional. Migrasi ilegal memberikan dampak negatif terhadap negara tujuan dan negara transit sehingga sering menimbulkan persoalan politik, sosial ekonomi, dan ketegangan hubungan antarnegara. Disamping migrasi ilegal, kasus penyelundupan manusia, seperti penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan bayi, atau wanita ke negara lain melalui wilayah perairan juga marak akhir-akhir ini.

Kegiatan penyelundupan melalui wilayah perairan antar negara yang tidak kalah maraknya pada dekade terakhir ini di kawasan Asia Tenggara adalah penyelundupan senjata, amunisi, dan bahan peledak. Kegiatan ilegal tersebut memiliki aspek politik, ekonomi, dan keamanan antar negara maupun di negara tujuan. Di bidang keamanan, penyelundupan senjata menimbulkan masalah yang sangat serius karena secara langsung akan mengancam stabilitas keamanan negara tujuan. Perompakan di laut dan penyelundupan yang diuraikan di atas merupakan tindakan ilegal lintas negara yang menimbulkan kerugian bagi negara-negara di kawasan maupun bagi negara-negara yang menggunakan lintas perairan. Tindakan ilegal lintas negara itu cukup signifikan dan semakin menguatirkan negara-negara di kawasan. Tindakan ilegal tersebut diorganisasi dengan rapi, sehingga perlu kerjasama antar negara untuk mengatasinya.

Banyaknya kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti kegiatan terorisme, pengambilan sumber daya alam oleh warga negara lain, dan banyaknya nelayan Indonesia yang ditangkap oleh polisi negara lain karena nelayan Indonesia melewati batas wilayah negara lain akibat tidak jelasnya batas wilayah negara. Masalah lain adalah ketidakjelasan siapa yang berwenang dan melakukan koordinasi terhadap masalah-masalah perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga, mulai dari masalah konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat perbatasan, siapa yang bertugas mengawasi wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, sampai kepada siapa yang berwenang mengadakan kerja sama dan perundingan dengan negara-negara tetangga, misalnya tentang penentuan garis batas kedua negara.



KEBIJAKAN YANG DITEMPUH.

Gagalnya bangsa Indonesia mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan putusan Mahkamah Internasional (International Court Of Justice) No.102 tanggal 17 Desember 2002, telah menyadarkan para pemimpin bangsa, para ilmuwan dan masyarakat Indonesia akan pentingnya pengawasan dan pengembangan kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar.

Untuk mengoptimalkan peran strategis kawasan perbatasan antar Negara, diperlukan upaya dan keberpihakan yang besar dari pemerintah maupun pemerintah daerah, mengingat kawasan perbatasan antar negara memiliki permasalahan yang komplek dan multidimensional. Kawasan perbatasan antar negara merupakan kawasan yang rentan terhadap infiltrasi idiologi, ekonomi maupun sosial budaya dari negara lain, disisi lain kawasan perbatasan antar negara di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan permasalahan yang sangat mendasar seperti rendahnya kualitas SDM, serta minimnya infrastruktur terutama perhubungan. Ketertinggalan dengan negara tetangga berbatasan secara sosial maupun ekonomi dikawatirkan dalam jangka panjang dapat berkembang menjadi kerawanan yang bersifat politis.

Batas laut Indonesia meliputi batas laut teritorial, batas laut Zona Ekonomi Eksklusif, dan batas Landas Kontinen. Batas laut tersebut diukur jaraknya ke arah luar dari titik dasar / titik pangkal yang dihubungkan oleh garis pangkal yang penetapannya tergantung pada keberadaan pulau-pulau terluar, sampai dengan saat ini terdapat ( Sembilan puluh dua) pulau. Kawasan perbatasan laut antar negara di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih merupakan kawasan yang tertinggal dan terisolir. Kebijakan pembangunan dimasa lampau yang bersifat sentralistik dan lebih menekankan kepada aspek keamanan, telah menyebabkan rendahnya intensitas pembangunan di kawasan perbatasan antar Negara.

Penetapan wilayah negara melalui penentuan titik-titik perbatasan telah dilakukan Indonesia secara sepihak melalui Deklarasi Djuanda yang dicetuskan tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda merupakan kemajuan besar karena Indonesia mempertegas konsep negara kepulauan (archipelagic state). Sebelum Deklarasi Djuanda, setiap pulau memiliki laut teritorial sendiri, sehingga antara pulau-pulau di Indonesia terpisah satu sama lain.

Setelah mengeluarkan Deklarasi Djuanda, Indonesia meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 yang mengakomodasi konsep negara kepulauan. Konvensi Hukum Laut PBB 1958 belum mengakomodasi konsep negara kepulauan. Selanjutnya, Indonesia menjadi peserta Konvensi Penerbangan Sipil Internasional di Chicago 1944 yang mengatur batas udara. “Kalau pengaturan batas udara tidak bermasalah karena mengikuti batas darat dan laut teritorial suatu negara tinggal ditarik ke atas.”

Kawasan perbatasan antar negara saat itu masih dianggap sebagai “ halaman belakang “ wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 6 tahun 1996 dinyatakan ”bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut yang telah diratifikasikan dengan undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Sedangkan sesuai dengan yang ditetapkan didalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia bahwa praktek negara maupun Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut menunjukkan telah diakuinya rezim Zona Ekonomi Eksklusif selebar 200 (dua ratus) mil laut sebagai bagian dari hukum laut internasional yang baru. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Pasal 47 Ayat 1 menyatakan bahwa Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya. Hal ini menunjukkan nilai strategis pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan negara sebagai ’gatekeeper’ wilayah kedaulatan RI. Dan kawasan perbatasan sebagai ’beranda negara ’ perlu mendapatkan prioritas penanganan seiring dengan berkembangnya berbagai issues dan permasalahan yang dihadapi.

Mengacu kepada komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dengan Kabinet Indonesia Bersatu menyangkut keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih memerlukan berbagai upaya diberbagai bidang penyelenggaraan negara di pemerintahan yang baik dan sinergis. Maka ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dimana perhatian terhadap penyelesaian batas wilayah NKRI dan pembangunan wilayah pebatasan mendapat prioritas tinggi.

Pemerintah mengeluarkan instrumen kebijakan dan strategi penataan ruang kawasan perbatasan RTRWN :

1. Pada saat ini PP No.47/1997 tentang RTRWN tengah direview dengan memperhatikan aspek-aspek :

o Penanganan kawasan perbatasan sebagai ’beranda depan’ negara dengan memadukan antara pendekatan pertahanan-keamanan dan kesejahteraan masyarakat

o Sinergitas pengembangan wilayah kelautan dengan daratan secara saling menguntungkan melalui pengembangan kawasan andalan laut dan kota-kota pantai

o Pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

o Penanganan kawasan tertinggal (termasuk pulau-pulau kecil yang terpencil/terisolir) yang terintegrasi dalam kesatuan pengembangan kawasan andalan dan pusat-pusat pertumbuhan

2. Muatan Review RTRWN : (a) struktur ruang wilayah nasional yang merupakan sistem nasional, (b) pola pemanfaatan ruang wilayah nasional (diantaranya kawasan perbatasan dan kawasan andalan laut) dan (c) kriteria dan pola pengelolaan.

3. RTRWN hasil review menetapkan kawasan perbatasan negara yang memenuhi kriteria penetapan (yaitu : berbatasan langsung dengan negara tetangga, jauh dari pusat pertumbuhan, mempunyai akses yang lebih tinggi kepada negara tetangga serta mempunyai aksesibilitas dan hubungan kerjasama dengan negara tetangga) sebagai kawasan tertentu dengan prinsip pengelolaan sebagai berikut :

o Mendorong perkembangan kawasan agar dapat mengikuti perkembangan kawasan lainnya di wilayah nasional untuk menghindari disparitas perkembangan.

o Kerjasama dengan negara tetangga untuk memanfaatkan potensi sosial-ekonomi dan sumber daya lainnya

o Memelihara stabilitas pertahanan dan keamanan negara pada kawasan-kawasan yang mempunyai nilai strategis pertahanan dan keamanan negara

4. Kawasan pulau-pulau kecil yang diidentifikasi sebagai Kawasan Tertentu perbatasan negara dalam RTRWN hasil review adalah :

o Kaltim-Sabah/Sarawak (Kws. Nunukan dsk)

o Sangihe -Talaud - Philipina

o Maluku - Timor Leste (Kep. Leti-Babar)

o Maluku Utara - Palau

o NTT dengan Timor Leste/Australia (Kep. Alor NTT)

o Riau - Malaysia/ Vietnam/ Singapura (Kep. Natuna dan Kep. Barelang)

o NAD - India/Thailand

5. Selain itu, diidentifikasi pula 37 Kawasan Andalan Laut dalam RTRWN hasil review yang berimpit dengan kawasan perbatasan seperti Batam dsk, Kep. Natuna dsk, Cendrawasih dsk, Sorong dsk dan Sawu dsk.

UPAYA-UPAYA MENGATASINYA.

Pelaksanaan dari kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan laut memerlukan komitmen dan kerjasama yang terpadu, dan konsisten dari pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah. Selain peran pemerintah, peran dunia usaha serta masyarakat sangat penting bagi suksesnya pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan antara lain sebagai berikut :

Pemerintah Pusat. Secara umum kewenangan pemerintah pusat di perbatasan laut menyangkut :

1. Pengelolaan kelembagaan CIQ (bea cukai, imigrasi dan karantina) di pulau-pulau kecil terluar;

2. Penegakan hukum (Kejaksaan, Kehakiman dan POLRI) di wilayah perairan perbatasan maupun pulau-pulau terluar;

3. Pertahanan dan Keamanan di wilayah perairan perbatasan maupun pulau-pulau terluar (TNI);

4. Kerjasama Luar Negeri.

Sehingga peran yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah dalam hal :

1. Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara;

2. Menjamin stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat;

3. Menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara;

4. Menjamin pengadaan teknologi dan SDM yang berkualitas;

5. Menjamin supremasi hukum nasional.



Pemerintah Provinsi. Kewenangan Provinsi sesuai dengan kedudukannya sebagai Daerah Otonom adalah :

1. Menyelengarakan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;

2. Pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang didekonsentrasi kepada Gubernur.



Sehingga peran yang diharapkan dari Pemerintah Provinsi adalah:

1. Menjamin terlaksananya pelayanan lintas Kabupaten/Kota di perbatasan laut dalam satu Provinsi dengan memperhatikan keseimbangan pembangunan dan pelayanan pemerintah yang lebih efisien;

2. Penanganan konflik antara Kabupaten/Kota diperbatasan. Dalam hubungannya dengan kerjasama antarnegara diperbatasan, pemerintah Provinsi baru terlibat dalam sidang-sidang yang diselenggarakan oleh Sosek Malindo, yaitu Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dengan Sarawak (Malaysia) dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan Sabah (Malaysia).



Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan dan tanggung jawab Kabupaten/Kota menyangkut:

1. Penyusunan rencana pengelolaan, rencana aksi, rencana bisnis dan penataan ruang kawasan;

2. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan;

3. Peningkatan kemampuan masyarakat dan penguatan kelembagaan;

4. Melaksanakan kerjasama dengan pihak swasta, baik nasional maupun asing sesuai ketentuan yang berlaku.



Dengan demikian peran yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di perbatasan adalah :

1. Menjamin terlaksananya pembangunan ekonomi ditingkat Kabupaten perbatasan laut secara efisien;

2. Menjamin terlaksananya pelayanan kesejahteraan masyarakat perbatasan laut secara berkesinambungan;

3. Menjamin terlaksananya penataan ruang Kabupaten.

Peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan perbatasan yang menyangkut hubungan bilateral antarnegara belum diatur secara khusus.



Dunia Usaha/Swasta. Besarnya minat investor asing untuk mengelola perbatasan laut harus mengikuti aturan pengelolaan

pulau-pulau kecil secara lestari yang telah disusun oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Beberapa peluang investasi di pulau-pulau terluar perbatasan diantaranya:

1. Investasi dibidang wisata bahari dan pengelolaan lingkungan;

2. Investasi dibidang industri (bersih) dan perdagangan;

3. Investasi dibidang jasa transportasi dan keuangan.



Masyarakat. Masyarakat perbatasan laut harus dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan pulau-pulau terluar diperbatasan laut. Walaupun banyak pulau-pulau terluar di perbatasan yang tidak berpenghuni, tetapi masyarakat di pulau-pulau sekitarnya yang lebih luas dapat dilibatkan peran sertanya baik dalam hal menjaga keamanan perairan, perlindungan lingkungan terumbu karang dan hutan bakau, ataupun dalam aktivitas pembangunan ekonomi lainnya. Peran serta masyarakat perbatasan laut yang berkualitas akan terwujud dengan program-program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan peningkatan pengetahuan, khususnya dibidang kelautan dan perikanan.

Dalam pemanfaatan dan pengelolaan serta pelestarian lingkungan perariran ini telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dimana penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan dengan ketentuan konvensi Hukum Internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



PENUTUP.

Batas-batas wilayah negara adalah manifestasi kedaulatan teritorial suatu negara. Batas-batas wilayah ini ditentukan oleh proses sejarah, politik, dan hubungan antar negara, yang dikulminasikan ke dalam aturan atau ketentuan hukum nasional maupun hukum internasional. Penanganan masalah dan pengelolaan perbatasan sangat penting saat ini untuk digunakan bagi berbagai kepentingan dan keperluan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat untuk melakukan pengelolaan wilayah perbatasan nasional Indonesia. Penyempurnaan batas-batas wilayah dan yurisdiksi negara di wilayah laut dapat menciptakan tegaknya wibawa Negara Kesatuan Republik Indonesia, terwujudnya rasa aman bagi segenap bangsa, dan terwujudnya perekonomian yang kuat melalui pemanfaatan sumberdaya alamnya.

Selain itu, ada agenda penting yang harus diselesaikan yaitu :

1. Indonesia memiliki 10 wilayah perbatasan dengan negara tetangga di kawasan yang sampai saat ini belum ditetapkan batas-batasnya.

2. Pendayagunaan potensi wilayah perbatasan laut dilaksanakan dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara berimbang.

3. Pemerintah melalui Bappenas bekerja sama dengan Bappeda menetapkan kebijaksanaan ”Master Plan Pembangunan Wilayah Perbatasan” dan dukungan dana yang dibutuhkan.

4. Dalam melaksanakan strategi sebagai jabaran dari kebijaksanaan dalam konsepsi pendayagunaan wilayah perbatasan dilaksanakan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah.



DAFTAR PUSTAKA

1. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara di Indonesia, 2003,

2. Bahan Dialog Interaktif Dirjen Penataan Ruang, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil Pada Kawasan Perbatasan Republik Indonesia, 2003,.

3. Kolonel Laut (P) Marsetio, MM, Pendayagunaan Wilayah Perbatasan Laut, 2005.

4. Nukila Evanty, ”Regulasi Batas Wilayah NKRI”.

5. Bakosurtanal, ”Kebijakan dan Strategi Penataan dan Pemeliharaan Batas Wilayah NKRI dan Pulau-Pulau Kecil Terluar”, 2006.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996, ”Perairan Indonesia”,2007.

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983, Zona Eksklusif Indonesia, 2007.

8. Laporan Singkat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan KASAD, 2008.

9. Buku Putih Pertahanan Negara RI, 2004.


Oleh : Tri Poetranto S.Sos. (Puslitbang Strahan Balitbang Dephan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar