Sabtu, 30 April 2011


JAKARTA, SELASA — Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Young Boon Yeo, Selasa (10/3) di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri, Jakarta, menandatangani perjanjian penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian Selat Singapura. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama delapan kali.

Kesepakatan perbatasan ini merupakan kelanjutan dari garis batas laut wilayah yang disepakati sebelumnya pada perjanjian serupa bulan Mei 1973. Dalam jumpa pers bersama, Hassan menegaskan, terkait isu perbatasan, Indonesia selalu mengedepankan dialog dan negosiasi.

"Penandatanganan ini memperkuat hubungan Indonesia dan Singapura," ujar Hassan.

Dikatakan Hassan, Indonesia dan Singapura juga sepakat merundingkan batas laut wilayah Timur I dan II, yakni antara Batam dan Changi, dan Bintan dan South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca. Sementara itu, George Yeoh mengatakan, penandatanganan tersebut merupakan milestone penting dalam hubungan di antara kedua negara bersahabat. Selain itu, penandatanganan tersebut cerminan hubungan baik Indonesia-Singapura. "Dalam banyak isu, Indonesia dan Singapura memiliki kesamaan pandangan," ujar George.

Tim teknis perunding batas maritim Indonesia terdiri dari beberapa departemen dan instansi lintas sektoral, yakni Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Perhubungan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Markas Besar TNI, serta Bakosurtanal.

Pencemaran Laut Indonesia Masih Tinggi

PADANG, KOMPAS.com - Tingkat pencemaran lingkungan laut Indonesia masih tinggi, ditandai antar lain dengan terjadinya eutrofikasi atau meningkatnya jumlah nutrisi disebabkan oleh polutan.

"Nutrisi yang berlebihan tersebut, umumnya berasal dari limbah industri, limbah domestik seperti deterjen, maupun aktivitas budidaya pertanian di daerah aliran sungai yang masuk ke laut," kata Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pusdatin KKP), Soen`an H. Poernomo, Minggu (16/5/2010).

Pencemaran di laut bisa pula ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fitoplankton/algae yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk.

Kasus-kasus pencemaran di lingkungan laut, yang disebut red tide itu, antara lain terjadi di muara-muara sungai, seperti di Teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006.

Di Ambon terjadi pada tahun 1994 dan 1997, di perairan Cirebon-Indramayu tahun 2006 dan 2007, Selat Bali dan muara sungai di perairan pantai Bali Timur tahun 1994, 1998, 2003, 2007, dan di Nusa Tenggara Timur tahun 1983, 1985, 1989.

Meski kerap terjadi, inventarisasi terjadinya red tide di Indonesia sampai saat ini masih belum terdata dengan baik, termasuk kerugian yang dialami.

"Mungkin kurangnya pendataan red tide ini disebabkan oleh kejadiannya yang hanya dalam waktu singkat," katanya.

Karena itu untuk menanggulangi red tide sebagai bencana, beberapa lembaga Pemerintah dan institusi pendidikan telah melakukan penelitian meskipun masih dilakukan secara sporadis.

Secara umum, kerugian secara ekonomi akibat dari red tide ini, adalah tangkapan nelayan yang menurun drastis, gagal panen para petambak udang dan bandeng, serta berkurangnya wisatawan karena pantai menjadi kotor dan bau oleh bangkai ikan.

Efek terjadinya red tide juga ditunjukkan penurunan kadar oksigen serta meningkatnya kadar toksin yang menyebabkan matinya biota laut, penurunan kualitas air, serta tentunya menganggu kestabilan populasi organisme laut.

"Akibat lautan tertutup dengan algae pada saat berlimpah, maka matahari sulit untuk menempuh ke dasar laut dan pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam laut," katanya.

Selain itu, sebagian algae juga mengandung toksin atau racun yang dapat menyebabkan matinya ikan dan mengancam kesehatan manusia bahkan menyebabkan kematian apabila mengkonsumsi ikan yang mati tersebut.

"Tanpa adanya limbah, sebagai fenomena alam sesungguhnya meningkatnya pertumbuhan algae ini sangat jarang terjadi," katanya.

Ekspedisi Ungkap Kekayaan Laut Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia akan menyelenggarakan tiga ekspedisi kelautan di perairan Indonesia bekerja sama dengan Amerika Serikat, Australia, Timor Leste, dan China. Ekspedisi ini bertujuan mengungkap kekayaan biota laut Indonesia.

"Banyak fenomena dan informasi yang akan didapatkan melalui ekspedisi ini. Misalnya dinamika kelautannya, habitatnya, juga biota yang ada," ungkap Kepala Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati Kementerian Kelautan Dan Perikanan Budi Sulistyo di Jakarta, Jumat (7/5/2010).

Tiga ekspedisi pelayaran akan dilakukan di perairan laut selatan Jawa, yakni di Samudra Hindia, Laut Arafura di timur Indonesia, dan perairan Sulawesi Utara di sekitar Sangihe Talaud. Untuk perairan Sangihe Talaud, ekspedisi akan dilakukan kapal riset Indonesia Baruna Jaya IV dan kapal riset Amerika Okeanos.

"Okeanos akan berangkat dari Guam, Hawaii, Amerika Serikat, dan memulai penelitian bersama kita pada pertengahan Juli hingga 8 Agustus 2010 mendatang," jelas Budi.

Ia menjelaskan, perairan Sangihe Talaud mempunyai keunikan tersendiri. Di bawah permukaan air di daerah tersebut terdapat gunung berapi yang aktif. "Biota bawah laut perairan Sangihe Talaud juga unik, di sana ada udang yang bisa hidup sampai suhu 400 derajat celsius karena adanya gunung berapi. Itu juga yang akan kita riset," tutur Budi.

Ditambahkan, kapal riset Amerika Okeanos mampu merekam keadaan bawah laut hingga kedalaman 4.000 meter di dasar laut. "Itu untuk kemampuan rekam videonya, sedangkan untuk memetakan keadaan bawah laut, sonarnya mampu mencapai kedalaman 6.000 meter di dasar laut," jelasnya. Budi berharap, dengan kemampuan itu, dinamika kelautan di Sangihe Talaud dapat diketahui.

Selanjutnya, untuk perairan timur Indonesia di laut Arafura, ekspedisi akan dilakukan kapal riset Indonesia Baruna Jaya VIII atas kerja sama Australia dan Timor Leste. "Perairan Laut Arafura kan berada di dekat ketiga negara itu, maka terjadi kerja sama ekspedisi pada 10 hingga 27 Mei mendatang," kata Budi.

Sementara di perairan selatan Jawa, ekspedisi pelayaran akan dilakukan kapal riset Indonesia Baruna Jaya III bekerja sama dengan The First Institute of Oceanography (FIO), lembaga peneliti dari China. "Ekspedisi selatan Jawa akan dilakukan mulai dari perairan Sukabumi hingga ke Cilacap," jelasnya.

Senin, 28 Maret 2011

BAGAIMANA DENGAN PERBATASAN LAUT KITA ?

PENDAHULUAN

Batas wilayah negara adalah batas-batas imajiner pada permukaan bumi yang memisahkan wilayah negara dengan negara lain yang umumnya terdiri dari perbatasan darat, laut dan udara. Namun beberapa pakar mengatakan bahwa perbatasan bukan hanya semata-mata garis imajiner yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya, tetapi juga sebuah garis dalam daerah perbatasan terletak batas kedaulatan dengan hak-hak kita sebagai negara yang harus dilakukan dengan undang-undang sebagai landasan hukum tentang batas wilayah NKRI yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu pengaturan mengenai batas wilayah ini perlu mendapat perhatian untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia. Jelasnya batas wilayah NKRI sangat diperlukan untuk penegakan hukum dan sebagai wujud penegakan kedaulatan.1

Di dalam hukum internasional, diakui secara politik dan secara hukum bahwa minimal tiga unsur yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yaitu:1) rakyat; 2) wilayah; 3) pemerintahan; 4) pengakuan dunia internasional (ini tidak mutlak). Kalau tidak ada pun tidak menyebabkan sebuah negara itu tidak berdiri. Wilayah sebuah negara itu harus jelas batas-batasnya, ada batas yang bersifat alami, ada batas-batas yang buatan manusia. Batas yang bersifat alami, misalnya sungai, pohon, danau, sedangkan yang bersifat buatan manusia, bisa berupa tembok, tugu, termasuk juga perjanjian-perjanjian internasional. Batas-batas tersebut kita fungsikan sebagai pagar-pagar yuridis, pagar-pagar politis berlakunya kedaulatan nasional Indonesia dan yurisdiksi nasional Indonesia.

Pembangunan serta pengelolaan wilayah perbatasan pada intinya menyangkut dua hal yakni perbatasan antar negara dalam arti kawasan yang berbatasan langsung antara negara Indonesia dengan negara tetangga dan perbatasan antar daerah dalam hal ini kawasan/wilayah yang terletak diantara perbatasan propinsi yang satu dengan Propinsi yang lain dan atau antara Kabupaten/Kota yang satu dengan Kabupaten/Kota yang lain.

Dihadapkan dengan berbagai permasalahan di wilayah perbatasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka untuk mendayagunakan masyarakat di wilayah perbatasan dirumuskan kebijaksanaan sebagai berikut : “Mewujudkan pendayagunaan potensi wilayah perbatasan laut, melalui penetapan peraturan perundang-undangan batas antar negara, batas antar daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, mensinergikan pengelolaan wilayah perbatasan dan mengintensifkan pembinaan masyarakat di perbatasan guna mendukung pembangunan nasional dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa“.

Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional yang antara lain ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan yang ada didalamnya yaitu diperlukan adanya keseimbangan antara faktor peningkatan kesejahteraan (prosperity factor) dan faktor keamanan (security factor). Dalam mendayagunakan wilayah perbatasan laut akan dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis baik pada tataran global, regional maupun nasional yang akan memberikan dampak terhadap berbagai aspek kebijakan di daerah pada tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada aspek-aspek kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam. Demikian juga dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai revisi terhadap Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 telah memberikan payung hukum yang lebih jelas kepada Pemerintah Daerah untuk mendayagunakan potensi wilayah di daerah utamanya di daerah perbatasan.

Nilai strategis kawasan perbatasan tersebut menuntut perhatian khusus dalam penataan ruang kawasan. Dalam penataan ruang nasional, kawasan perbatasan merupakan kawasan yang diprioritaskan untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang tersebar di lautan dengan luas 75% dari luas teritorial RI.



PERMASALAHAN PERBATASAN LAUT

Isu keamanan laut cukup perlu perhatian serius. Isu keamanan laut tersebut meliputi ancaman kekerasan (pembajakan , perompakan dan sabotase serta teror obyek vital), ancaman navigasi (kekurangan dan pencurian sarana bantu navigasi), ancaman sumber daya (perusakan serta pencemaran laut dan ekosistemnya), dan ancaman kedaulatan dan hukum (penangkapan ikan secara ilegal, imigran gelap, eksporasi dan ekspoitasi sumber kekayaan alam secara ilegal, termasuk pengambilan harta karun, penyelundupan barang dan senjata, serta penyelundupan kayu gelondongan melaui laut). Isu keamanan laut memiliki dimensi gangguan terhadap hubungan internasional Indonesia .

Berdasarkan data Internasional Maritime Bureau (IMB) Kuala Lumpur tahun 2001, dari 213 laporan pembajakan dan perompakan yang terjadi di perairan Asia dan kawasan Samudera Hindia, 91 kasus diantaranya terjadi di perairan Indonesia. Namun data pemerintah Indonesia yang dikeluarkan oleh TNI-AL, menyatakan bahwa selama tahun 2001 terjadi 61 kasus yang murni dikatagorikan sebagai aksi pembajakan dan perompakan dengan lokasi tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan angka oleh kedua institusi tersebut, namun data tersebut menunjukan bahwa keamanan perairan Indonesia pada dekade terakhir memiliki ancaman dan gangguan keamanan yang cukup serius dan perlu penangan segera.

Internasional Maritime Organization (IMO) menyatakan bahwa aksi perompakan yang terjadi diperairan Asia Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara adalah yang tertinggi di dunia. Pelaku perompakan tidak hanya menggunakan senjata tradisional, tetapi juga senjata api dan peralatan berteknologi canggih. Keamanan di laut merupakan masalah yang kompleks karena upaya untuk mengatasi perompakan di laut tidak dapat dilakukan hanya oleh satu negara saja, tetapi melibatkan berbagai negara dan organisasi internasional. Karena itu upaya mewujudkan keamanan di laut memerlukan kerja sama yang erat antarnegara.

Disamping masalah perompakan, penyelundupan manusia melalui perairan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, juga cenderung meningkat. Australia yang berada di bagian selatan kawasan Asia Tenggara, merupakan salah satu negara tujuan para imigran gelap. Hal tersebut menjadikan perairan di kawasan Asia Tenggara, termasuk perairan Indonesia, menjadi jalur laut menuju benua tersebut. Penyelundupan manusia tidak dapat dipandang sebagai masalah yang sederhana. Upaya penanggulangannya melibatkan beberapa negara dengan berbagai kepentingan yang berbeda, terutama keamanan, kemanusiaan, ekonomi, dan politik. Kegiatan migrasi ilegal berskala besar kerap kali dilakukan oleh organisasi yang memiliki jaringan internasional. Migrasi ilegal memberikan dampak negatif terhadap negara tujuan dan negara transit sehingga sering menimbulkan persoalan politik, sosial ekonomi, dan ketegangan hubungan antarnegara. Disamping migrasi ilegal, kasus penyelundupan manusia, seperti penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan bayi, atau wanita ke negara lain melalui wilayah perairan juga marak akhir-akhir ini.

Kegiatan penyelundupan melalui wilayah perairan antar negara yang tidak kalah maraknya pada dekade terakhir ini di kawasan Asia Tenggara adalah penyelundupan senjata, amunisi, dan bahan peledak. Kegiatan ilegal tersebut memiliki aspek politik, ekonomi, dan keamanan antar negara maupun di negara tujuan. Di bidang keamanan, penyelundupan senjata menimbulkan masalah yang sangat serius karena secara langsung akan mengancam stabilitas keamanan negara tujuan. Perompakan di laut dan penyelundupan yang diuraikan di atas merupakan tindakan ilegal lintas negara yang menimbulkan kerugian bagi negara-negara di kawasan maupun bagi negara-negara yang menggunakan lintas perairan. Tindakan ilegal lintas negara itu cukup signifikan dan semakin menguatirkan negara-negara di kawasan. Tindakan ilegal tersebut diorganisasi dengan rapi, sehingga perlu kerjasama antar negara untuk mengatasinya.

Banyaknya kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti kegiatan terorisme, pengambilan sumber daya alam oleh warga negara lain, dan banyaknya nelayan Indonesia yang ditangkap oleh polisi negara lain karena nelayan Indonesia melewati batas wilayah negara lain akibat tidak jelasnya batas wilayah negara. Masalah lain adalah ketidakjelasan siapa yang berwenang dan melakukan koordinasi terhadap masalah-masalah perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga, mulai dari masalah konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat perbatasan, siapa yang bertugas mengawasi wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, sampai kepada siapa yang berwenang mengadakan kerja sama dan perundingan dengan negara-negara tetangga, misalnya tentang penentuan garis batas kedua negara.



KEBIJAKAN YANG DITEMPUH.

Gagalnya bangsa Indonesia mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan putusan Mahkamah Internasional (International Court Of Justice) No.102 tanggal 17 Desember 2002, telah menyadarkan para pemimpin bangsa, para ilmuwan dan masyarakat Indonesia akan pentingnya pengawasan dan pengembangan kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar.

Untuk mengoptimalkan peran strategis kawasan perbatasan antar Negara, diperlukan upaya dan keberpihakan yang besar dari pemerintah maupun pemerintah daerah, mengingat kawasan perbatasan antar negara memiliki permasalahan yang komplek dan multidimensional. Kawasan perbatasan antar negara merupakan kawasan yang rentan terhadap infiltrasi idiologi, ekonomi maupun sosial budaya dari negara lain, disisi lain kawasan perbatasan antar negara di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan permasalahan yang sangat mendasar seperti rendahnya kualitas SDM, serta minimnya infrastruktur terutama perhubungan. Ketertinggalan dengan negara tetangga berbatasan secara sosial maupun ekonomi dikawatirkan dalam jangka panjang dapat berkembang menjadi kerawanan yang bersifat politis.

Batas laut Indonesia meliputi batas laut teritorial, batas laut Zona Ekonomi Eksklusif, dan batas Landas Kontinen. Batas laut tersebut diukur jaraknya ke arah luar dari titik dasar / titik pangkal yang dihubungkan oleh garis pangkal yang penetapannya tergantung pada keberadaan pulau-pulau terluar, sampai dengan saat ini terdapat ( Sembilan puluh dua) pulau. Kawasan perbatasan laut antar negara di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih merupakan kawasan yang tertinggal dan terisolir. Kebijakan pembangunan dimasa lampau yang bersifat sentralistik dan lebih menekankan kepada aspek keamanan, telah menyebabkan rendahnya intensitas pembangunan di kawasan perbatasan antar Negara.

Penetapan wilayah negara melalui penentuan titik-titik perbatasan telah dilakukan Indonesia secara sepihak melalui Deklarasi Djuanda yang dicetuskan tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda merupakan kemajuan besar karena Indonesia mempertegas konsep negara kepulauan (archipelagic state). Sebelum Deklarasi Djuanda, setiap pulau memiliki laut teritorial sendiri, sehingga antara pulau-pulau di Indonesia terpisah satu sama lain.

Setelah mengeluarkan Deklarasi Djuanda, Indonesia meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 yang mengakomodasi konsep negara kepulauan. Konvensi Hukum Laut PBB 1958 belum mengakomodasi konsep negara kepulauan. Selanjutnya, Indonesia menjadi peserta Konvensi Penerbangan Sipil Internasional di Chicago 1944 yang mengatur batas udara. “Kalau pengaturan batas udara tidak bermasalah karena mengikuti batas darat dan laut teritorial suatu negara tinggal ditarik ke atas.”

Kawasan perbatasan antar negara saat itu masih dianggap sebagai “ halaman belakang “ wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 6 tahun 1996 dinyatakan ”bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut yang telah diratifikasikan dengan undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Sedangkan sesuai dengan yang ditetapkan didalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia bahwa praktek negara maupun Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut menunjukkan telah diakuinya rezim Zona Ekonomi Eksklusif selebar 200 (dua ratus) mil laut sebagai bagian dari hukum laut internasional yang baru. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Pasal 47 Ayat 1 menyatakan bahwa Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya. Hal ini menunjukkan nilai strategis pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan negara sebagai ’gatekeeper’ wilayah kedaulatan RI. Dan kawasan perbatasan sebagai ’beranda negara ’ perlu mendapatkan prioritas penanganan seiring dengan berkembangnya berbagai issues dan permasalahan yang dihadapi.

Mengacu kepada komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dengan Kabinet Indonesia Bersatu menyangkut keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih memerlukan berbagai upaya diberbagai bidang penyelenggaraan negara di pemerintahan yang baik dan sinergis. Maka ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dimana perhatian terhadap penyelesaian batas wilayah NKRI dan pembangunan wilayah pebatasan mendapat prioritas tinggi.

Pemerintah mengeluarkan instrumen kebijakan dan strategi penataan ruang kawasan perbatasan RTRWN :

1. Pada saat ini PP No.47/1997 tentang RTRWN tengah direview dengan memperhatikan aspek-aspek :

o Penanganan kawasan perbatasan sebagai ’beranda depan’ negara dengan memadukan antara pendekatan pertahanan-keamanan dan kesejahteraan masyarakat

o Sinergitas pengembangan wilayah kelautan dengan daratan secara saling menguntungkan melalui pengembangan kawasan andalan laut dan kota-kota pantai

o Pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

o Penanganan kawasan tertinggal (termasuk pulau-pulau kecil yang terpencil/terisolir) yang terintegrasi dalam kesatuan pengembangan kawasan andalan dan pusat-pusat pertumbuhan

2. Muatan Review RTRWN : (a) struktur ruang wilayah nasional yang merupakan sistem nasional, (b) pola pemanfaatan ruang wilayah nasional (diantaranya kawasan perbatasan dan kawasan andalan laut) dan (c) kriteria dan pola pengelolaan.

3. RTRWN hasil review menetapkan kawasan perbatasan negara yang memenuhi kriteria penetapan (yaitu : berbatasan langsung dengan negara tetangga, jauh dari pusat pertumbuhan, mempunyai akses yang lebih tinggi kepada negara tetangga serta mempunyai aksesibilitas dan hubungan kerjasama dengan negara tetangga) sebagai kawasan tertentu dengan prinsip pengelolaan sebagai berikut :

o Mendorong perkembangan kawasan agar dapat mengikuti perkembangan kawasan lainnya di wilayah nasional untuk menghindari disparitas perkembangan.

o Kerjasama dengan negara tetangga untuk memanfaatkan potensi sosial-ekonomi dan sumber daya lainnya

o Memelihara stabilitas pertahanan dan keamanan negara pada kawasan-kawasan yang mempunyai nilai strategis pertahanan dan keamanan negara

4. Kawasan pulau-pulau kecil yang diidentifikasi sebagai Kawasan Tertentu perbatasan negara dalam RTRWN hasil review adalah :

o Kaltim-Sabah/Sarawak (Kws. Nunukan dsk)

o Sangihe -Talaud - Philipina

o Maluku - Timor Leste (Kep. Leti-Babar)

o Maluku Utara - Palau

o NTT dengan Timor Leste/Australia (Kep. Alor NTT)

o Riau - Malaysia/ Vietnam/ Singapura (Kep. Natuna dan Kep. Barelang)

o NAD - India/Thailand

5. Selain itu, diidentifikasi pula 37 Kawasan Andalan Laut dalam RTRWN hasil review yang berimpit dengan kawasan perbatasan seperti Batam dsk, Kep. Natuna dsk, Cendrawasih dsk, Sorong dsk dan Sawu dsk.

UPAYA-UPAYA MENGATASINYA.

Pelaksanaan dari kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan laut memerlukan komitmen dan kerjasama yang terpadu, dan konsisten dari pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah. Selain peran pemerintah, peran dunia usaha serta masyarakat sangat penting bagi suksesnya pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan antara lain sebagai berikut :

Pemerintah Pusat. Secara umum kewenangan pemerintah pusat di perbatasan laut menyangkut :

1. Pengelolaan kelembagaan CIQ (bea cukai, imigrasi dan karantina) di pulau-pulau kecil terluar;

2. Penegakan hukum (Kejaksaan, Kehakiman dan POLRI) di wilayah perairan perbatasan maupun pulau-pulau terluar;

3. Pertahanan dan Keamanan di wilayah perairan perbatasan maupun pulau-pulau terluar (TNI);

4. Kerjasama Luar Negeri.

Sehingga peran yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah dalam hal :

1. Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara;

2. Menjamin stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat;

3. Menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara;

4. Menjamin pengadaan teknologi dan SDM yang berkualitas;

5. Menjamin supremasi hukum nasional.



Pemerintah Provinsi. Kewenangan Provinsi sesuai dengan kedudukannya sebagai Daerah Otonom adalah :

1. Menyelengarakan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;

2. Pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang didekonsentrasi kepada Gubernur.



Sehingga peran yang diharapkan dari Pemerintah Provinsi adalah:

1. Menjamin terlaksananya pelayanan lintas Kabupaten/Kota di perbatasan laut dalam satu Provinsi dengan memperhatikan keseimbangan pembangunan dan pelayanan pemerintah yang lebih efisien;

2. Penanganan konflik antara Kabupaten/Kota diperbatasan. Dalam hubungannya dengan kerjasama antarnegara diperbatasan, pemerintah Provinsi baru terlibat dalam sidang-sidang yang diselenggarakan oleh Sosek Malindo, yaitu Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dengan Sarawak (Malaysia) dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan Sabah (Malaysia).



Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan dan tanggung jawab Kabupaten/Kota menyangkut:

1. Penyusunan rencana pengelolaan, rencana aksi, rencana bisnis dan penataan ruang kawasan;

2. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan;

3. Peningkatan kemampuan masyarakat dan penguatan kelembagaan;

4. Melaksanakan kerjasama dengan pihak swasta, baik nasional maupun asing sesuai ketentuan yang berlaku.



Dengan demikian peran yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di perbatasan adalah :

1. Menjamin terlaksananya pembangunan ekonomi ditingkat Kabupaten perbatasan laut secara efisien;

2. Menjamin terlaksananya pelayanan kesejahteraan masyarakat perbatasan laut secara berkesinambungan;

3. Menjamin terlaksananya penataan ruang Kabupaten.

Peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan perbatasan yang menyangkut hubungan bilateral antarnegara belum diatur secara khusus.



Dunia Usaha/Swasta. Besarnya minat investor asing untuk mengelola perbatasan laut harus mengikuti aturan pengelolaan

pulau-pulau kecil secara lestari yang telah disusun oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Beberapa peluang investasi di pulau-pulau terluar perbatasan diantaranya:

1. Investasi dibidang wisata bahari dan pengelolaan lingkungan;

2. Investasi dibidang industri (bersih) dan perdagangan;

3. Investasi dibidang jasa transportasi dan keuangan.



Masyarakat. Masyarakat perbatasan laut harus dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan pulau-pulau terluar diperbatasan laut. Walaupun banyak pulau-pulau terluar di perbatasan yang tidak berpenghuni, tetapi masyarakat di pulau-pulau sekitarnya yang lebih luas dapat dilibatkan peran sertanya baik dalam hal menjaga keamanan perairan, perlindungan lingkungan terumbu karang dan hutan bakau, ataupun dalam aktivitas pembangunan ekonomi lainnya. Peran serta masyarakat perbatasan laut yang berkualitas akan terwujud dengan program-program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan peningkatan pengetahuan, khususnya dibidang kelautan dan perikanan.

Dalam pemanfaatan dan pengelolaan serta pelestarian lingkungan perariran ini telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dimana penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan dengan ketentuan konvensi Hukum Internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



PENUTUP.

Batas-batas wilayah negara adalah manifestasi kedaulatan teritorial suatu negara. Batas-batas wilayah ini ditentukan oleh proses sejarah, politik, dan hubungan antar negara, yang dikulminasikan ke dalam aturan atau ketentuan hukum nasional maupun hukum internasional. Penanganan masalah dan pengelolaan perbatasan sangat penting saat ini untuk digunakan bagi berbagai kepentingan dan keperluan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat untuk melakukan pengelolaan wilayah perbatasan nasional Indonesia. Penyempurnaan batas-batas wilayah dan yurisdiksi negara di wilayah laut dapat menciptakan tegaknya wibawa Negara Kesatuan Republik Indonesia, terwujudnya rasa aman bagi segenap bangsa, dan terwujudnya perekonomian yang kuat melalui pemanfaatan sumberdaya alamnya.

Selain itu, ada agenda penting yang harus diselesaikan yaitu :

1. Indonesia memiliki 10 wilayah perbatasan dengan negara tetangga di kawasan yang sampai saat ini belum ditetapkan batas-batasnya.

2. Pendayagunaan potensi wilayah perbatasan laut dilaksanakan dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara berimbang.

3. Pemerintah melalui Bappenas bekerja sama dengan Bappeda menetapkan kebijaksanaan ”Master Plan Pembangunan Wilayah Perbatasan” dan dukungan dana yang dibutuhkan.

4. Dalam melaksanakan strategi sebagai jabaran dari kebijaksanaan dalam konsepsi pendayagunaan wilayah perbatasan dilaksanakan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah.



DAFTAR PUSTAKA

1. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara di Indonesia, 2003,

2. Bahan Dialog Interaktif Dirjen Penataan Ruang, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil Pada Kawasan Perbatasan Republik Indonesia, 2003,.

3. Kolonel Laut (P) Marsetio, MM, Pendayagunaan Wilayah Perbatasan Laut, 2005.

4. Nukila Evanty, ”Regulasi Batas Wilayah NKRI”.

5. Bakosurtanal, ”Kebijakan dan Strategi Penataan dan Pemeliharaan Batas Wilayah NKRI dan Pulau-Pulau Kecil Terluar”, 2006.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996, ”Perairan Indonesia”,2007.

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983, Zona Eksklusif Indonesia, 2007.

8. Laporan Singkat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan KASAD, 2008.

9. Buku Putih Pertahanan Negara RI, 2004.


Oleh : Tri Poetranto S.Sos. (Puslitbang Strahan Balitbang Dephan)

Selasa, 01 Maret 2011

SUMBERDAYA PERAIRAN ESTUARIA

PENGERTIAN ESTUARIA menurut PARA AHLI

* Lauff (1961) : Estuaria sebagai perairan yang semi tertutup menerima air tawar yang mengalir dari daratan dan sekitarnya serta mempunyai hubungan bebas dengan laut lepas.
* Reid (1961): Estuaria sebagai perairan tertutup yang mempunyai hubungan langsung dengan laut dan keadaan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh aktifitas pasang surut, sehingga terjadi pencampuran dengan air tawar.
* Knight (1965): Estuaria adalah saluran dimana air pasang-surut yang datang dengan arus sungai, daerah tersebut merupakan bagian dari laut yang terletak pada ujung dari muara sungai.
* Pritchard (1967): estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut lepas.
* Odum (1972): Estuaria adalah muara sungai dimana terjadi arus pasang-surut yang mengakibatkan adanya percampuran antara air laut dengan air tawar.
* Dyer (1997): Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, meluas ke sungai sejauh batas pasang naik, dan bercampur dengan air tawar, yang berasal dari drainase daratan.

DAMPAK/PENGARUH DI ESTUARIA

* Salviana (1990): Estuaria merupakan perairan semi tertutup tempat terjadinya pertemuan antara air yang bersalinitas rendah dari sungai atau daratan dengan air yang bersalinitas relatif tinggi yang berasal dari laut. Hal ini akan mengakibatkan perairan mempunyai air yang bersalinitas lebih rendah dari laut terbukan dan lebih tinggi dari air sungai
* Ghons (1971): perairan estuaria sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan air laut bercampur dengan air tawar yang berasal dari sungai dan mengendapkan buangan yang dibawahnya. Hal ini akan terjadi proses sifat fluvial dengan Oceanik berinteraksi dan mengakibatkan perairan estuaria yang dianggap sebagai wilayah peralihan antara habitat air laut/asin dengan habitat air tawar.
* Perkins (1974): perairan Estuaria merupakan daerah pertemuan antara air tawar dengan air laut, sehingga keadaan lingkungannya sangat ekstrim dan fluktuasinya lebih besar dari habitat air laut dan habitat air tawar. Dalam hal ini perairan bersifat spesifik (tidak mantap)/ labil sehingga sifat-sifat fisik, kimia dan biologi bervariasi.

PERANAN ESTUARIA

Peranan Estuaria dikenal sebagai daerah/ wilayah perairan yang subur dan mempunyai produktifitas yang tinggi sebagai pendukung fito-zoo plankton

* Odum (1971): perairan estuaria merupakan perangkap nutrien yang menyebabkan produktifitasnya tinggi dan subur sehingga merupakan daerah asuhan (Nurcery Ground) berbagai jenis organisme

* Mc Connughey (1974): sekitar 90% jenis ikan niaga yang pada waktu dewasa hidup di air tawar atau air laut bebas memanfaatkan estuaria sebagai tempat perawatan telur, mengasuh larva dan tempat mencari makan.

* Hurabarat dan Evans (1985): ada 4 faktor yang menyebabkan daerah estuaria mengalami nilai produktifitas yang tinggi:

* Terjadinya penambahan bahan –bahan organik secara terus-menerus yang berasal dari aliran sungai.
* Perairan estuaria umumnya dangkal sehingga cukup menerima sinar matahari untuk mendukung kehidupan organisme.
* Perairan estuaria merupakan daerah yang relatif kecil menerima aksi gelombang sehingga detritus dapat menumpuk di dalamnya.
* Aksi pasang surut selalu mengaduk bahan-bahan organik yang berada di dalamnya.


TIPE – TIPE ESTUARIA

1. Penggolongan Estuaria Berdasarkan Pencampuran Air


* Estuaria positif adalah perairan di mana jumlah air tawar yang masuk lebih besar daripada penguapan air laut maka air tawar berada di atas air laut sehingga menimbulkan pergerakan air laut ke atas mengikuti pola percampuran air tawar dan air laut. Hal ini terjadi pada bulan Oktober sampai Februari.
* Estuaria negatif adalah perairan yang memiliki penguapan air laut lebih besar daripada pemasukan air tawar, sehingga menimbulkan peregerakan air laut dari atas ke bawah. Hal ini terjadi pada bulan April- Agustus
* Estuaria netral adalah perairan yang mengalami percampuran air karena adanya penghadangan air laut terhadap air tawar yang datang. Hal ini terjadi pada bulan Maret dan bulan September.

2. Penggolongan Estuaria Berdasarkan Topografi

* Drowned river valleys, yaitu tipe estuaria yang berbentuk lembah, banyak dijumpai di daerah temperate. Kedalaman estuaria umumnya raetip dalam, bias mencapai sekitar 30 m. Masukan air tawar dari sungai relatip kecil dibandingkan dengan volume air laut ketika pasang.
* Estuaria yang berbentuk fjord, yaitu profile lembahnya berbentuk huruf U. Seperti halnya Drowned river valley, estuaria fjord ini juga banyak dijumpai di daerah temperate dan terbentuk akibat pelelehan gunung es (glaciers) ketika jaman Pleistocene. Di mulut esturia biasanya terdapat sill (dataran lembah yang mencuat), sehingga perairan di bagian tersebut cukup dangkal. Sedangkan kedalaman lembah (water basin) di bawah sill sangat dalam, bias mencapai sekitar 300-400 m, bahkan ada yang mencapai 800 m. masukan air tawar dari sungai relative besar dibandingkan dengan volume air laut ketika pasang, sedangkan yang keluar dari sungai dibandingkan dengan total volume fjord relative kecil.
* Bar-built estuaries, yaitu estuaria yang hubungannya dengan laut lepas dibatasi dengan timbunan atau palung pasir, yang biasanya berbentuk lonjong sejajar pantai. Kedalaman estuaria ini biasanya dangkal, hanya beberapa meter saja dan sering mempunyai goba atau laguna yang ekstensif, serta jalan keluar air di mulut estuaria yang sangat dangkal. Tipe ini banyak dijumpai di daerah tropis atau daerah-daerah yang pantainya aktif menerima endapan sedimen.
* Estuaria yang dihasilkan oleh proses tektonik, seperti patahan atau tenggelamnya permukaan tanah, yang memungkinkan terjadinya aliran air tawar.

3. Penggolongan Estuaria Berdasarkan Distribusi Salinitas

* The highly stratifies estuary (salt wedge estuary), air laut masuk ke sungai seperti taji (menukik ke dasar), sedangkan air tawar menuju ke laut melalui permukaan air laut yang masuk. Ketika pencampuran selesai, maka terbentuklah strata atau lapisan air, yang mana bagian bawah adalah air laut.
* The highly stratifies estuary (fjord type), estuaria ini pada prinsipnya sama dengan tipe estuaria sebelumnya (salt wedge estuary), kecuali adanya sill di mulut fjord sehingga arus pasang lebih ketat. Air tawar secara terus-menerus keluar melalui permukaan, tetapi penggantian arus pasang mungkin hanya terjadi tahunan dan tidak menentu, sehingga kondisi oksigen terlarut di dekat dasar fjord biasanya.
* Partially mixed estuary, estuaria ini dicirikan dengan efisiensi pertukaran air asin dan air tawar. Permukaan air tidak begitu asin dibandingkan bagian dasar perairan. Pencampuran air masuk dari dasar perairan dan keluar melalui permukaan terjadi di sepanjang estuaria.
* The vertically homogeneous estuary, pada estuaria ini arus pasang sangat kuat dibandingkan dengan aliran sungai yang masuk ke estuaria, sehingga pencampuran vertical menjadi intensif dan membuat salinitas di estuaria secara vertical dari dasar ke permukaan homogeny.

Sumber :


* Ir. Abdurahim Hade, M.Si. 2009. Materi Kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
* Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

PRODUKTIVITAS PERAIRAN

a. Produktivitas Primer

Produktivitas primer dari suatu ekosistem didefinisikan sebagai jumlah energi cahaya yang diserap dan kemudian disimpan oleh organisme-organisme produser melalui kegiatan fotosintesis dan kemosintesis dalam suatu periode waktu tertentu ( Widianingsih, 2002). Cahaya disimpan dalam bentuk zat-zat organik yang dapat digunakan sebagai bahan makanan oleh organisme heterotrofik (Setyapermana, 1979).

Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa organik. Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas perairan kotor, atau produktivitas total. Karena sebagian dari produktivitas total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup yang secara kolektif disebut respirasi, tinggallah sebagian dari produktivitas total yang tersedia bagi pemindahan atau pemanfatan oleh organisme lain.

Produktivitas primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa produktivitas primer kotor yang sebagian digunakan oleh tumbuhan. Untuk respirasi, produktivitas primer inilah yang tersedia bagi tingkatan-tingkatan tropik lain (Nybakken. 1992).

Beberapa produktivitas dapat diketahui secara berurutan sesuai peristiwa pembentukannya :
a. Produktivitas primer kotor, yaitu laju total fotosintesis, termasuk bahan organik
yang habis digunakan dalam respirasi selama waktu pengukuran, dikenai sebagai fotosintesis total atau asimilasi total.

b. Produktivitas primer bersih, yaitu penyimpanan bahan organik di dalam jaringan-jaringan tumbuhan kelebihannya dari proses respirasi oleh tumbuhan-tumbuhan selama jangka waktu pengukuran, dikenal sebagai apparent fotosintesis atau asimilasi bersih.

Produktivitas komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh heterotrof (yakni produktivitas bersih– penggunaan heterotrof)
selama jangka waktu yang brsangkutan, biasanya musim pertumbuhan atau
setahun.

Produktivitas sekunder yaitu laju penyimpanan energi pada tingkat konsumen.

Dalam produktivitas primer terjadi reduksi karbondioksida dengan atom hidrogen dari air untuk menghasilkan gula sederhana dan selanjutnya membentuk molekul organik yang lebih kompleks dengan menggunakan energi matahari yang ditangkap klorofil (Halfer, 1992). Laju sintesis bahan organik dan perubahan produktivitas primer dapat dihitung dengan teknik pengukuran laju fotosintesis yang didasarkan pada reaksi fotointesis. Produktivitas primer dapat dilukiskan misalnya pada laju produksi oksigen, laju penggunaan CO2 atau air maupun perubahan
konsentrasi bahan organik yang terbentuk ( Wetzel and Likens, 1991).

Metode pengukuran produktivitas primer yang paling peka adalah metode karbon radioaktif. Metode ini mampu mengukur produktivitas primer bersih, dengan menggunakan botol yang mengandung radioaktif yang ditambahkan sebagai karbonat. Setelah beberapa waktu singkat, plankton atau tumbuhan air disaring dan diletakkan dalam alat penghitung. Melalui perhitungan yang baik dan pembentukan untuk
“pengambilan waktu gelap” (penyerapan 140C di dalam botol gelap), banyaknya CO2
yang diikat dalam fotosintesis dapat ditentukan dari perhitungan radioaktif yang
dibuat. Metode lain yang digunakan untuk pengukuran produktivitas primer adalah metode klorofil atau metode pH yang berguna dalam pengkajian mikro ekosistem laboratorium (Odum, 1971).

Metode pengukuran produktivitas primer yang sering dilakukan dan popular di
bidang limnologi menurut Sumawidjaja (1974) adalah metode oksigen botol gelap
dan terang. Pada metode botol gelap terang ini, perkiraan produktivitas dapat
diketahui dari perubahan oksigen (Payne, 1986; Wetzel and Likens, 1991; Nybakken,
1992), yang berisi contoh air setelah diinkubasi dalam jangka waktu tertentu pada
perairan yang mendapat sinar matahari. Pada botol gelap yang tidak menerima
cahaya matahari maka diduga hanya terjadi proses respirasi, sementara paada botol
terang terjadi baik proses fotosintesis maupun respirasi. Berdasarkan asumsi bahwa
respirasi kedua botol sama, maka perbedaan kandungan oksigen pada botol gelap
dan terang, pada akhir percobaan menunjukkan produktivitas kotor.

Sirkulasi sinar matahari tahunan dan siklus matahari harian akan mempengaurhi produktivitas primer pada ekosistem perairan yang juga mempengaruhi produktivitas primer terestial. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas primer adalah unsur hara, cahaya, temperatur serta struktur komunitas fitoplankton di ekosistem perairan.

b. Faktor-faktor produktivitas primer

Produktivitas primer merupakan mata ramtai makanan yang memegang peranan penting bagi sumberdaya perairan. Melalui produktivitas primer, energi akan mengalir dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Peningkatan suplai zat hara dan tersedianya zat hara khususnya nitrogen dan fosfor merupakan faktor kimia perairan yang dapat mempengaruhi produktivitas primer disamping faktor fisik cahaya matahari dan temperatur (Wetzel, 1983).

Cahaya matahari merupakan salah satu faktor fisika yang memegang peranan penting dalam perubahan produktivitas primer. Jika kedalaman penetrasi cahaya yang menembus air sudah diketahui, maka dapat diketahui sampai dimana proses asimilasi tumbuhan terjadi. Energi cahaya matahari digunakan dalam proses fotosintesis, diserap oleh pigmen klorofil dan diubah menjadi energi kimia yang digunakan dalam proses reduksi karbondioksida sehingga terbentuk bahan organik sebagai hasil akhir fotosintesis. Cahaya yang tampak kemudian dipantulkan terutama pada panjang gelombang hijau dan secara keseluruhan radiasi matahari yang aktif dalam fotosintesis hanya 40 %.

Oksigen merupakan komponen penting yang dibutuhkan organisme perairan yang
berfungsi sebagai regulator pada proses metabolisme tanaman dan hewan air
(Odum, 1971). Salah satu sumber oksigen terlarut yang penting dalam perairan
adalah oksigen di atmosfer yang terlarut dalam massa air pada permukaan air
tersebut (Connel and Miller, 1995).

PRODUKTIVITAS PRIMER DI LINGKUNGAN PERAIRAN

Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan antara makhluk hidup dengan lingkungan abiotik (habitat). Interaksi dalam ekosistem didasari adanya hubungan saling membutuhkan antara sesama makhluk hidup dan adanya eksploitasi lingkungan abiotik untuk kebutuhan dasar hidup bagi makhluk hidup. Jika dilihat dari aspek kebutuhannya, sesungguhnya interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan upaya mendapatkan energi bagi kelangsungan hidupnya yang meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan pergerakan.

Keberlangsungan tersebut membuat setiap individu berjuang untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sehingga mereka memproduksi segala hal yang mereka butuhkan dalam melangsungkan hidupnya.

Produktivitas Primer

Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total.

Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produksivitas dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan untuk respirasi. Produksi primer inilah yang tersedia bagi tingkatan-tingkatan trofik lain.

Produksi primer kotor maupun bersih pada umumnya dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per interval waktu. Jadi, produksi dapat dilaporkan sebagai jumlah gram karbon per m2 per hari (gC/m2/hari), atau satuan-satuan lain yang lebih tepat.

Hasil tetap (Standing crop) yang diterapkan pada tumbuhan ialah jumlah biomassa tumbuhan yang terdapat dalam suatu volume air tertentu pada suatu saat tertentu.Di laut khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produklivitas primer perairan. Produktivitas jumlah karbon yang terdapat di dalam matenal hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari) (Levinton. 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a. dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan.

Sumber energy primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari. Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan hijau dan organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul organik yang kaya energy. Molekul tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki kemampuan untuk mengikat energy dari lingkungan disebut produsen.

Di lingkungan perairan Indonesia Produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya menjadi energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.

Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen. Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):

NPP = GPP – Rs

Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energy kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik aktif.

Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).

Ruang Lingkup Produktifitas Primer

Sumber energi yang utama dalam pemeliharaan ekosisitem perairan (dan daratan) adalah energi cahaya matahari, proses fiksasi cahaya biasanya melibatkan air sebagai donor hydrogen dalam meruduksi karbondioksida menjadi karbohidrat. Proses ini tidak hanya merupaka bagian dari fotosintesis, dan sebagian bakteri fotosintesis dapat menggunakan sumber-sumber selain air untuk hydrogen. Selainitu terdapat beberapa proses kemosintesis yaitu dengan memperoleh energi untuk sintesis bahan organik dari perubahan kimia.Yang termasuk kedalam produksi utama pada periran yaitu organisme Autotrof yaitu organisme yang menggunakan bahan organik.

Fotosintesis

Merupakan suatu proses biokimia untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. Hampir semua makhluk hidup bergantung dari energi yang dihasilkan dalam fotosintesis.

Reaksi kimia untuk fotosintesis:

12H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2 + 6H2O

Faktor penentu laju fotosintesis:

Cahaya

Merupakan aspek penting dalam fotosintesis , gelombang energi cahaya yang diabsorbsi air dan klorofil berkisar 350-710 nm è PAR (Photosynthesis Active Radiation). Sedangkan sinar matahari yang biasa terserap oleh air sekitat 45-50% dari kekuatan cahaya yang sebenarnya.

Beberaapa faktor yang berefek terhadap penerimaan jumlah cahaya untuk dapat sampai ke dalam permukaan air adalah:

a.Ketinggian tempat (altitude).

b.Efek geografik : jumlah radiasi cahaya matahari dalam setahun (kal/cm2/hari) berbeda secara geografis (latitude).

c.Efek musim : letak geografis, perbedaan musim dalam setahun è perbedaan radiasi.

d.Efek diurnal : pagi atau sore Рjarak matahari lebih jauh daripada tengah hari, elevasi cahaya juga lebih rendah (semakin miring) sehingga % cahaya yang dipantulkan semakin besar ̬ intensitas cahaya rendah.

e.Efek lokal : morfologi perairan, arus

f.Konsentrasi karbon dioksida

Semakin banyak karbon dioksida di udara, makin banyak jumlah bahan yang dapt digunakan tumbuhan untuk melangsungkan fotosintesis.

SuhuEnzim-enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim.

Kadar fotosintat (hasil fotosintesis)Jika kadar fotosintat seperti karbohidrat berkurang, laju fotosintesis akan naik. Bila kadar fotosintat bertambah atau bahkan sampai jenuh, laju fotosintesis akan berkurang.

Karakteristik Air Laut yang Dipengaruhi Oleh Faktor-Faktor Oseanografi

Suhu

Laut tropik memiliki massa air permukaan hangat yang disebabkan oleh adanya pemanasan yang terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun. Pemanasan tersebut mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang disebabkan oleh adanya gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu secara vertikal di dalam kolom perairan, Wyrtki (1961) membagi perairan menjadi 3 (tiga) lapisan, yaitu:

a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan tercampur

b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin

c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.

Menurut Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di dalam kolom perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien suhu dari permukaan sampai lapisan dalam. Lapisan permukaan tercampur merupakan lapisan dengan gradien suhu tidak lebih dari 0,03 oC/m (Wyrtki, 1961), sedangkan kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,1 oC/m (Ross, 1970).

Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 – 75 m. Disamping itu Lukas and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur.

Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.

Salinitas

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan.

Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan perairan.

Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal. Menurut Wyrtki (1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi.

Pengaruh sistem angin muson terhadap sebaran salinitas pada beberapa bagian dari perairan Indonesia telah dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di pengaruhi oleh arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari Lautan Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya salinitas Laut Flores. Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.

Densitas air laut (st)


Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu. Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.

Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan menurunnya suhu.

FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT

Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin. Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.

Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada panjang gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).

Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.

Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.

Suhu


Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).

Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR OSEANOGARFI DAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN INDONESIA

Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah. Seperti halnya produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan lingkungan laut lainnya, misalnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan perairan bahari yang memiliki laju produktivitas rendah. Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia memiliki laju perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.

Skema pendekatan masalah untuk melihat pengaruh faktor oseanografi terhadap produktivitas primer perairan Indonesia.

Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:

1. Upwelling

Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.

Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa dan Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).

Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.

2. Percampuran Vertikal Massa Air

Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif meningkatkan produksi baru.

Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal. Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.

3. Percampuran Massa Air secara Horisontal

Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan Indonesia. Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan. Tingginya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh. Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.

Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas primer. Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan. Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih dalam. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin. Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.

Lintasan massa air asal Lautan Pasifik Utara dan selatan di Perairan Indonesia (Publikasi Universitas Columbia, internet, 1997 dalam Naulita, 1998)

Rabu, 16 Februari 2011

24 Pulau di Indonesia Hilang, 2000 Lainnya Terancam?

Jumat, 09 Oktober 2009 - oleh : admin | 293 x dibaca

Sebanyak 24 pulau kecil di Indonesia telah hilang, baik akibat kejadian alam, maupun ulah manusia. Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 2.000 pulau lain di Tanah Air juga terancam tenggelam.Penyebabnya pemanasan global. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Widyatama (Utama) Bandung, Jumat (2/10).

Acara kuliah umum ini dihadiri pula oleh Bupati Sorong Stepanus Malak dan civitas akademika Utama. Freddy menyatakan, ke-24 pulau ini hilang akibat tsunami Aceh pada 2004, abrasi, dan kegiatan penambangan pasir yang tidak terkendali. Pulau-pulau ini di antaranya Pulau Gosong Sinjai di NAD akibat tsunami, Mioswekel di Papua akibat abrasi, dan Lereh di Kepulauan Riau akibat penambangan pasir. Pemanasan global disebutkan menjadi ancaman paling konkret bagi pulau-pulau lain di Tanah Air.

Menurut analisis Departemen Kelautan Perikanan RI dan PBB, pada tahun 2030, diperkirakan sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan lenyap. “Saya punya daftarnya, tetapi tidak bisa diungkapkan di sini,” ujarnya. Dikatakan Freddy, kenaikan permukaan laut bisa mencapai lebih dari 2 meter jika tidak ada penanganan serius dalam menghentikan laju pemanasan global.

Tidak hanya di pulau-pulau kecil, dari simulasi dampak perubahan iklim, sebagian wilayah pesisir utara Jakarta akan tenggelam. “Bandara Soekarno-Hatta pun akan tenggelam jika tidak ada upaya serius mengurangi laju pemanasan global. Percaya sama saya, adik-adik sekalian kalau masih hidup di masa itu suatu hari akan mengingat omongan saya ini,” ujar menteri menegaskan bahaya yang akan datang.

Ancaman tenggelamnya pulau akibat kenaikan permukaan laut, ucapnya, bukanlah isapan jempol. “Sekarang, telah betul-betul terjadi,” ucapnya memberikan contoh negara Kepulauan Kiribati dan Tuvalu. “Presiden Kiribati telah meminta warga dunia untuk menampung warganya karena ‘negeri’ mereka telah hilang,” tuturnya. Warga-warga dari negara yang berada di Samudra Pasifik ini telah ditampung di Australia dan Selandia Baru.

Sumber : Kompas, Oktober 2009

Masa Depan Kita Ada di Laut

Jumat, 05 Juni 2009 - oleh : admin | 550 x dibaca

Isu tentang bagaimana membayar utang Indonesia yang terus menumpuk, bahkan disebut-sebut begitu seorang anak lahir di negeri ini ia sudah ikut menanggung beban utang negara hingga Rp 7,7 juta, kini seperti menjadi pertanyaan dan pernyataan klise. Apalagi di tengah kebijakan pemerintah yang cenderung untuk terus berutang, lalu kapan kita akan mampu melunasinya?

Dihadapkan pada kenyataan ini, banyak kalangan pesimistis. Akan tetapi, benarkah kita sebagai bangsa tidak akan pernah bisa melunasi utang-utang yang sudah mencapai Rp 1.623 triliun tersebut hingga akhir zaman sehingga nasib negeri ini tak ubahnya bagai tokoh Sisiphus dalam mitologi Yunani Kuno, yang terus digantoli beban tak berkesudahan setiap kali harus naik ke puncak bukit?
Bagi pakar ekonomi maritim, seperti La Ode Masihu Kamaluddin, jalan untuk lepas dari ”kutukan Sisiphus” itu sebetulnya masih terbuka. ”Indonesia bisa bayar utang dari laut. Caranya? Kembangkan ekonomi maritim yang berbasis pantai,” kata Masihu, panggilan akrab lelaki kelahiran Kaledupa, sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Tukang Besi yang kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ini.

Berkat pengembangan ekonomi maritim berbasis pantai, negara kepulauan seperti Maladewa mampu menghidupi negeri mereka dari potensi ekonomi kelautannya. Selain dari sektor perikanan dan perkapalan, lebih dari 500.000 wisatawan yang setiap tahun datang berlibur ke negara kecil di Samudra Hindia tersebut adalah sumber pendapatan utama mereka.

Sadar sebagai negara kepulauan, Maladewa memang memfokuskan pembangunan ekonomi mereka pada sektor kelautan: ekonomi berbasis pariwisata dan perikanan. Karena fokusnya jelas, hasilnya pun jelas. Dari sektor wisata bahari saja, sumbangan terhadap pendapatan kotor negara tercatat hingga 60 persen, mengantarkan pendapatan sekitar 300.000 jiwa penduduknya mencapai 3.460 dollar AS per kapita.

Baru sebatas potensi

Dalam hal potensi sumber daya laut dan pantai, Indonesia kurang apa? Selain potensi minyak dan gas bumi, seperti di blok Ambalat yang kini diincar Malaysia, emas, uranium, dan titanium pun terkandung di bawah dasar laut Nusantara. Belum lagi potensi perikanan serta keragaman jenis terumbu karang dan aneka biota laut yang bisa dikembangkan untuk kepentingan industri wisata bahari.

Dengan wilayah laut yang sangat luas dan pantai yang sangat panjang, kesempatan Indonesia untuk menggali sumber pendapatan negara memang masih terbuka lebar. Indonesia memiliki ratusan dan bahkan ribuan pulau, dengan panorama pantai dan keragaman sumber daya bawah lautnya yang tak ternilai, yang bisa dikembangkan untuk menarik kunjungan wisatawan mancanegara.

Di luar 13 kawasan wisata bahari yang diunggulkan oleh pemerintah, ratusan tempat lain juga tak kalah potensial untuk ditata. Di luar 16 lokasi penyelaman terbaik Indonesia versi hasil survei National Geographic Traveler Indonesia (NGTI), masih ada puluhan titik penyelaman lain yang bisa dikelola untuk para penjelajah bawah laut.

Sayangnya, pengelolaan wisata bahari di negara kepulauan terbesar di dunia ini—dengan potensi ekonomi kelautan yang tak ”alang kepalang” kayanya—belum menjadi suatu kebijakan yang terintegrasi. Semua masih setengah hati. Potensi laut yang begitu besar itu masih dilihat sebagai potensi semata, tanpa disertai orientasi kebijakan pengelolaan yang jelas dan terarah.

Dibandingkan dengan Thailand saja, dalam hal pengelolaan industri wisata bahari untuk bidang penyelaman, Indonesia tertinggal jauh. Meski lokasi penyelaman mereka kurang dari sepertiga yang dimiliki Indonesia, pendapatan Thailand dari wisata bahari ini sudah mencapai 240 juta dollar AS setahun. Indonesia? Hanya 10 persen dari total pendapatan mereka.

Pusat keunggulan

Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, mencoba menangkap sinyal yang menempatkan laut sebagai harapan untuk masa depan kehidupan. Sebagai wilayah yang terletak di jantung segitiga karang dunia—meliputi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste—Wakatobi memang dikaruniai keragaman jenis biota laut yang tak ternilai.

”Wakatobi memiliki 90 persen dari sekitar 850 jenis terumbu karang dunia dengan 914 spesies ikannya,” kata Hugua, Bupati Wakatobi.

Kekayaan laut inilah yang ingin dijadikan pusat keunggulan Wakatobi. Berangkat dengan visi besar yang terkesan ambisius, ”terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”, Wakatobi pun menempatkan sektor perikanan, kelautan, dan pariwisata sebagai fokus pembangunan mereka. Untuk itu, sejumlah langkah berikut penyediaan sarana dan prasarana penopang mulai dibenahi, termasuk pembangunan bandar udara sebagai pintu gerbang masuk calon wisatawan.

”Tidak ada pilihan bagi kami, Wakatobi harus mengedepankan pembangunan ekonomi berbasis kelautan. Ini adalah niat, sebuah cita-cita, yang akan mengiringi perjalanan kami dalam membangun daerah ini,” kata Hugua.

Langkah besar itu memang sudah diayunkan. Namun, mengutip keprihatinan La Ode Masihu Kamaluddin, selama kebijakan pemerintah secara umum masih berorientasi ke darat, sulit untuk menggenjot pertumbuhan pembangunan kelautan.

Sambil ”menikmati” sengkarut persoalan menjelang pemilu presiden pada 8 Juli mendatang, kita sebagai anak bangsa layak berharap: akankah muncul calon pemimpin negeri ini yang benar-benar tergerak hatinya untuk menolehkan kebijakannya ke laut? Akankah muncul kesadaran bahwa sesungguhnya tumpuan masa depan bangsa ini ada di laut…. (KEN)

Sumber: http://cetak. kompas.com/

Laut Tak Diperhitungkan dalam Mitigasi Iklim

Jumat, 01 Januari 2010 - oleh : admin | 238 x dibaca

Jakarta, Kompas - Isu kelautan tidak masuk dalam teks Copenhagen Accord. Dengan kata lain, laut tidak diperhitung- kan dalam mitigasi perubahan iklim. Padahal, fenomena kelautan memiliki peranan besar dalam memengaruhi terjadinya perubahan iklim, yaitu dalam hal pelepasan dan penyerapan karbon dioksida.

Alan F Koropitan, dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), melontarkan ini dalam konferensi pers tentang ”Refleksi 2009 dan Proyeksi 2010 Kelautan dan Perikanan” yang di- adakan pada hari Rabu (30/12) oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Indonesia, Centre for Ocean Development and Maritime Civili- zation Studies (COMMITs), dan IPB.

Berdasarkan penelitian NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) , adanya indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan karbon dalam 20 tahun ini, maka di kemudian hari laut berpotensi untuk berbalik menjadi pelepas karbon. Jadi, laut selalu mencari keseimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer.

Peranan laut dalam hal ini lebih sebagai ”obyek penderita” akibat peningkatan emisi CO ke atmosfer sehingga tidak relevan untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon seperti halnya hutan. Karena itu, menurut Alan, lebih penting merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.

Dalam jurnal Global Change Biology belum lama ini disebutkan, skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 parts per million (ppm) pada tahun 2100 akan mengakibatkan Indonesia kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi saat ini, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.

Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan dari perairan tropis ke sub-tropis sehingga merugikan negara tropis, seperti Indonesia. Selain itu, perubahan migrasi ikan yang semakin jauh akan berimplikasi kepada usaha penangkapan ikan yang makin mahal sehing- ga membuat nelayan kian tidak berdaya. Hal ini juga men- jadi perhatian Suhana, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Selain itu, kerusakan ekosistem pesisir, seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, sebagai daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.

Alan F Koropitan mengatakan, sejauh ini tidak ada peralatan pengukuran CO di laut yang mengacu standar pada protokol JGOFS (Joint Global Ocean Flux Study) untuk menunjang studi karbon laut di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada audit emisi CO. Hal ini akan merugikan Indonesia dalam perhitungan pencapaian target penurunan karbon sebesar 26 persen. (YUN)

Sumber : http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/12/31/ 03314359/ Laut.Tak. Diperhitungkan. dalam.Mitigasi. .Iklim

DEPHUT ALIHKAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN PELESTARIAN ALAM KE DKP

Jumat, 06 Maret 2009 - oleh : admin | 1002 x dibaca

Sebagai tindaklanjut UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, kewenangan pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) hari ini diserahterimakan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Serah terima kedua kawasan ini karena DKP dinilai sebagai departemen teknis yang memiliki visi dan misi serta kewenangan di bidang kelautan dan perikanan, termasuk didalamnya pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya sehingga pengelolaan kawasan konservasi perairan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan perikanan berkelanjutan. Serahterima kedua kawasan dilakukan secara resmi oleh Menteri Kehutanan, M.S. Kaban kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta (4/3).

Pengalihan KSA dan KPA meliputi 8 (delapan) lokasi, yaitu: (1) kawasan Perairan Laut Banda seluas 2.500 Ha, (2) sebagian Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di sekitarnya seluas 114.000 Ha Maluku, (3) kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat di Papua dan laut sekitarnya seluas 60.000 Ha, (4) Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di NTB seluas 2.954 Ha, (5) Kepulauan Kapoposan dan laut sekitarnya seluas 50.000 Ha, (6) Kepulauan Padaido beserta perairan sekitarnya seluas 183.000 Ha, (7) Kepulauan Panjang di Irian Jaya seluas 271.630 Ha, dan (8) Pulau Pieh di Sumatera Barat dan perairan sekitarnya seluas 39.900 Ha.

Sebelumnya, kerjasama DKP dan Departemen Kehutanan di bidang konservasi sudah diinisiasi sejak tahun 2003 melalui kesepakatan bersama antara Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Dephut dengan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP tentang pelaksanaan kegiatan di 6 (enam) taman nasional, yang meliputi kegiatan penguatan zonasi taman nasional, penguatan pengembangan dan penelitian, sumberdaya alam hayati, penguatan sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional, pengembangan wisata alam bahari, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan informasi dan promosi serta peningkatan kapasitas pengawasan kawasan. Selain itu, pengembangan kerjasama dilakukan juga dalam program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP II).

Dalam UU No. 31 Tahun 2004, salah satunya diatur mengenai konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya yang dilakukan melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik ikan. Konservasi sumber daya ikan tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan karena karakteristiknya yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap pengaruh iklim global maupun iklim musiman serta aspek-aspek keterkaitan (connectivity) ekosistem antar wilayah perairan baik lokal, regional maupun global berdasarkan prinsip kehati-hatian dengan dukungan bukti-bukti ilmiah.
Keanekaragaman hayati laut Indonesia sudah cukup dikenal di dunia sehingga dikenal sebagai megadiversity country, terletak di pusat segi tiga terumbu karang (coral triangle). Oleh karena itu, Presiden RI telah mendeklarasikan Coral Triangle Initiative (CTI) di Australia pada konferensi Asean Pacific Economic Conference (APEC) tahun 2007.. Deklarasi CTI tersebut menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia. Sebagai inisiator CTI, Indonesia bersama 5 negara (Malaysia, Philipina, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Solomon Islands) yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati paling kaya di planet bumi untuk bersama melestarikan dan mengembangkan pemanfaatan laut secara berkelanjutan melalui pembentukan Segitiga Terumbu Karang atau CTI. Segitiga terumbu karang tersebut mencapai luas 75.000 km2, memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang dan dihuni oleh lebih dari 3000 spesies ikan.

Pengembangan program konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya telah tercantum dalam rencana strategis (Renstra) dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2010 – 2014 DKP. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mendorong pembentukan kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia yang handal di bidang kelautan dan perikanan. Sebagai implementasi kebijakan tersebut antara lain dengan mengembangkan Unit Pelaksana Teknis di bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai bentuk implementasinya, DKP telah membentuk 7 Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam bentuk Balai dan Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, serta Balai dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional, sehingga pembentukan UPT tersebutdapat meningkatkan kinerja pengelolaan kawasan konservasi, termasuk pengelolaan 8 KSA dan KPA. Kedepan, Management Authority CITES di bidang konservasi sumberdaya ikan sebagaimana mandat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 juga dapat diserahkan dari Dephut kepada DKP.

Jakarta, Maret 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi

ttd

Soen’an H. Poernomo

Narasumber:
Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K
(Ir. Agus Darmawan, M.Si/HP. 08158700095)

PENGELOLAAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE YANG BERKELANJUTAN

1. Ekosistem Mangrove
1.1 Sumber Daya Mangrove dan Pesisir
Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada ai laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh kedua pengaruh darat dan laut.
Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.
Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain itu mangrove memainkan peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.
Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupanseperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan.

1.2 Cakupan Sumberdaya Mangrove
a. Satu atau lebih jenis tumbuhan mangrove yang hidupnya hanya di habitat mngrove
b. Satu atau lebih jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, tetapi juga dapat hidup di habitat selain mangrove
c. Berbagai jenis fauna baik fauna terestris maupun fauna laut yang bersosiasi dengan habitat mangrove, baik secara permanen maupun secara sementara
d. Semua proses alamiah yang berperan dalam memelihara kberadaan ekosistem mangrove (mis : sedimentasi)
e. Penduduk yang hidupnya bergantung pada sumber daya mangrove.

1.3 Hutan Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh.
Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar (mangrove dalam kawasan hutan).
Ketidakcocokan ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas. Angka 4,25 juta ha yang dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari data tahun 1970-an. Sumber utama lain yang tampk tidak konsisten diantara sumber-sumber data adalah estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan mangrove terluas yang berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan dan FAO 1990). Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa air tawar pada tepian zona pantai di Papua.
Data terkhir yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan.
Untuk mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut perlu dilakukan Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian dan pengelolaan yang lebih baik.
Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini memberi kesempatan khusus bagi Indonesia guna melaksanakan mandat nasional dan internasional untuk konservasi sumber daya biologi yang bermakna bagi dunia.
Walaupun angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain terutama pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an dan 90-an.

1.4 Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.
Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove.
Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.
Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri.
Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.
Barangkali ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.

2. Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola Secara Berkelanjutan
Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah :
2.1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat ekonomis dan ekologis mangrove adalah :
a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :
1) Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu)
2) Hasil bukan kayu
 Hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)
 Jasa lingkungan (ekowisata)
b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia jenis fauna, diantaranya :
 Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
 Pengendali intrusi air laut
 Habitat berbagai jenis fauna
 Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
 Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
 Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
 Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain.
2.2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.
2.3 Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.
2.4 Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.
2.5 Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.

3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan
3.1 Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan
Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar :
a. Praktek pengelolaan SDA harus meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA dapat diperoleh secara terus menerus.
b. Dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang, oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.
Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA berkelanjutan dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola, dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi.

3.2 Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan
Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).
Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu :
a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula.
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya.
c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.

3.3 Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove
a. Kendala Aspek Teknis
1) Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu.
2) Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).
3) Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah.
b. Kendala Aspek Kelembagaan
Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya adalah :
1) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang belum sama sekali.
2) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.
3) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove
4) Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait
5) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada
6) Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove
7) Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan tersebut.

3.4 Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk kegiatan pokok, yakni :
a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatanna dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll)
c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna.


3.5 Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya
Dalam rangka menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam ktegori kawasan hutan produksi (kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang dilindungi (kawasan lindung) harus ditetapkan arahan kriterianya secara nasional. Untuk keperluan tersebut beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain adalah :
a. Kondisi fisik areal hutan
 Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh
 Luas areal hutan
 Kondisi tanah
b. Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna).
c. Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan
d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan
e. Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya.

Berdasarkan tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka dapat dilakukan scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove berdasarkan fungsinya di suatu daerah.
Selain itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :
a. Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut
b. Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras
c. Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic
d. Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari

Sampai saat ini kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi secara lestari belum disusun secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan Mangrove) mengadakan Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop tersebut yang mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah :

Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi
Indikator :
1) Kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan
2) Perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan
3) Besaran perubahan penutupan lahan hutan akibat perambahan dan alih fungsi kawasan hutan dan gangguan lainnya
4) Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan setempat
5) Macam dan jumlah hasil hutan non kayu terjamin
6) Investasi untuk penataan dan perlindungan hutan
7) Realisasi dana yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemic, langka dan dilindungi.
8) Pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang dituangkan dalam berbagai tingkat rencana dan diimplementasikan
9) Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan
10) Efisiensi pemanfaatan hutan
11) Tingkat kerusakan pohon induk
12) Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan
13) Kelancaran dan keteraturan pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan pembinaan hutan.
14) Kesehatan perusahaan
15) Peran bagi pembangunan ekonomi wilayah
16) Sytem informasi manajemen
17) Satuan Pemeriksaan Internal (SPI)
18) Tersedianya tenaga profesional untuk perencanaan, perlindungan, produksi, pembinaan hutan dan manajemen bisnis
19) Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan
20) Peningkatan modal hutan

Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis
Indikator :
1) Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui pihak terkait.
2) Propoprsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan
3) Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi
4) Kondisi kenekaragaman spesies flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi pada berbagai formasi/ tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen
5) Intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan
6) Efektifitas penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan , dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem hutan dan pentingnya pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka
7) Intensitas dampak kegiatan kelola produksi terhadap satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
8) Pengamanan satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya

Kriteria 3 : Kelestarian fungsi Sosial
Indikator :
1) Batas antara kawasan konsesnsi dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya.
2) Akses dan kontrol penuh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan hutan adat terjamin.
3) Akses pemanfaatan hasil hutan oleh komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsensi terjamin
4) Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama
5) Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi
6) Komunitas mampu mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka
7) Modal domestik berkembang
8) Peninjauan berkala terhadap kesejahteraan karyawan
9) Minimasi dampak unit manajemen pada integrasi sosial dan kultural
10) Kerjasama dengan otoritas kesehatan
11) Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
12) Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji yang adil
13) Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)




Sumber : Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003