Jumat, 09 Oktober 2009 - oleh : admin | 293 x dibaca
Sebanyak 24 pulau kecil di Indonesia telah hilang, baik akibat kejadian alam, maupun ulah manusia. Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 2.000 pulau lain di Tanah Air juga terancam tenggelam.Penyebabnya pemanasan global. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Widyatama (Utama) Bandung, Jumat (2/10).
Acara kuliah umum ini dihadiri pula oleh Bupati Sorong Stepanus Malak dan civitas akademika Utama. Freddy menyatakan, ke-24 pulau ini hilang akibat tsunami Aceh pada 2004, abrasi, dan kegiatan penambangan pasir yang tidak terkendali. Pulau-pulau ini di antaranya Pulau Gosong Sinjai di NAD akibat tsunami, Mioswekel di Papua akibat abrasi, dan Lereh di Kepulauan Riau akibat penambangan pasir. Pemanasan global disebutkan menjadi ancaman paling konkret bagi pulau-pulau lain di Tanah Air.
Menurut analisis Departemen Kelautan Perikanan RI dan PBB, pada tahun 2030, diperkirakan sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan lenyap. “Saya punya daftarnya, tetapi tidak bisa diungkapkan di sini,” ujarnya. Dikatakan Freddy, kenaikan permukaan laut bisa mencapai lebih dari 2 meter jika tidak ada penanganan serius dalam menghentikan laju pemanasan global.
Tidak hanya di pulau-pulau kecil, dari simulasi dampak perubahan iklim, sebagian wilayah pesisir utara Jakarta akan tenggelam. “Bandara Soekarno-Hatta pun akan tenggelam jika tidak ada upaya serius mengurangi laju pemanasan global. Percaya sama saya, adik-adik sekalian kalau masih hidup di masa itu suatu hari akan mengingat omongan saya ini,” ujar menteri menegaskan bahaya yang akan datang.
Ancaman tenggelamnya pulau akibat kenaikan permukaan laut, ucapnya, bukanlah isapan jempol. “Sekarang, telah betul-betul terjadi,” ucapnya memberikan contoh negara Kepulauan Kiribati dan Tuvalu. “Presiden Kiribati telah meminta warga dunia untuk menampung warganya karena ‘negeri’ mereka telah hilang,” tuturnya. Warga-warga dari negara yang berada di Samudra Pasifik ini telah ditampung di Australia dan Selandia Baru.
Sumber : Kompas, Oktober 2009
Rabu, 16 Februari 2011
Masa Depan Kita Ada di Laut
Jumat, 05 Juni 2009 - oleh : admin | 550 x dibaca
Isu tentang bagaimana membayar utang Indonesia yang terus menumpuk, bahkan disebut-sebut begitu seorang anak lahir di negeri ini ia sudah ikut menanggung beban utang negara hingga Rp 7,7 juta, kini seperti menjadi pertanyaan dan pernyataan klise. Apalagi di tengah kebijakan pemerintah yang cenderung untuk terus berutang, lalu kapan kita akan mampu melunasinya?
Dihadapkan pada kenyataan ini, banyak kalangan pesimistis. Akan tetapi, benarkah kita sebagai bangsa tidak akan pernah bisa melunasi utang-utang yang sudah mencapai Rp 1.623 triliun tersebut hingga akhir zaman sehingga nasib negeri ini tak ubahnya bagai tokoh Sisiphus dalam mitologi Yunani Kuno, yang terus digantoli beban tak berkesudahan setiap kali harus naik ke puncak bukit?
Bagi pakar ekonomi maritim, seperti La Ode Masihu Kamaluddin, jalan untuk lepas dari ”kutukan Sisiphus” itu sebetulnya masih terbuka. ”Indonesia bisa bayar utang dari laut. Caranya? Kembangkan ekonomi maritim yang berbasis pantai,” kata Masihu, panggilan akrab lelaki kelahiran Kaledupa, sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Tukang Besi yang kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ini.
Berkat pengembangan ekonomi maritim berbasis pantai, negara kepulauan seperti Maladewa mampu menghidupi negeri mereka dari potensi ekonomi kelautannya. Selain dari sektor perikanan dan perkapalan, lebih dari 500.000 wisatawan yang setiap tahun datang berlibur ke negara kecil di Samudra Hindia tersebut adalah sumber pendapatan utama mereka.
Sadar sebagai negara kepulauan, Maladewa memang memfokuskan pembangunan ekonomi mereka pada sektor kelautan: ekonomi berbasis pariwisata dan perikanan. Karena fokusnya jelas, hasilnya pun jelas. Dari sektor wisata bahari saja, sumbangan terhadap pendapatan kotor negara tercatat hingga 60 persen, mengantarkan pendapatan sekitar 300.000 jiwa penduduknya mencapai 3.460 dollar AS per kapita.
Baru sebatas potensi
Dalam hal potensi sumber daya laut dan pantai, Indonesia kurang apa? Selain potensi minyak dan gas bumi, seperti di blok Ambalat yang kini diincar Malaysia, emas, uranium, dan titanium pun terkandung di bawah dasar laut Nusantara. Belum lagi potensi perikanan serta keragaman jenis terumbu karang dan aneka biota laut yang bisa dikembangkan untuk kepentingan industri wisata bahari.
Dengan wilayah laut yang sangat luas dan pantai yang sangat panjang, kesempatan Indonesia untuk menggali sumber pendapatan negara memang masih terbuka lebar. Indonesia memiliki ratusan dan bahkan ribuan pulau, dengan panorama pantai dan keragaman sumber daya bawah lautnya yang tak ternilai, yang bisa dikembangkan untuk menarik kunjungan wisatawan mancanegara.
Di luar 13 kawasan wisata bahari yang diunggulkan oleh pemerintah, ratusan tempat lain juga tak kalah potensial untuk ditata. Di luar 16 lokasi penyelaman terbaik Indonesia versi hasil survei National Geographic Traveler Indonesia (NGTI), masih ada puluhan titik penyelaman lain yang bisa dikelola untuk para penjelajah bawah laut.
Sayangnya, pengelolaan wisata bahari di negara kepulauan terbesar di dunia ini—dengan potensi ekonomi kelautan yang tak ”alang kepalang” kayanya—belum menjadi suatu kebijakan yang terintegrasi. Semua masih setengah hati. Potensi laut yang begitu besar itu masih dilihat sebagai potensi semata, tanpa disertai orientasi kebijakan pengelolaan yang jelas dan terarah.
Dibandingkan dengan Thailand saja, dalam hal pengelolaan industri wisata bahari untuk bidang penyelaman, Indonesia tertinggal jauh. Meski lokasi penyelaman mereka kurang dari sepertiga yang dimiliki Indonesia, pendapatan Thailand dari wisata bahari ini sudah mencapai 240 juta dollar AS setahun. Indonesia? Hanya 10 persen dari total pendapatan mereka.
Pusat keunggulan
Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, mencoba menangkap sinyal yang menempatkan laut sebagai harapan untuk masa depan kehidupan. Sebagai wilayah yang terletak di jantung segitiga karang dunia—meliputi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste—Wakatobi memang dikaruniai keragaman jenis biota laut yang tak ternilai.
”Wakatobi memiliki 90 persen dari sekitar 850 jenis terumbu karang dunia dengan 914 spesies ikannya,” kata Hugua, Bupati Wakatobi.
Kekayaan laut inilah yang ingin dijadikan pusat keunggulan Wakatobi. Berangkat dengan visi besar yang terkesan ambisius, ”terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”, Wakatobi pun menempatkan sektor perikanan, kelautan, dan pariwisata sebagai fokus pembangunan mereka. Untuk itu, sejumlah langkah berikut penyediaan sarana dan prasarana penopang mulai dibenahi, termasuk pembangunan bandar udara sebagai pintu gerbang masuk calon wisatawan.
”Tidak ada pilihan bagi kami, Wakatobi harus mengedepankan pembangunan ekonomi berbasis kelautan. Ini adalah niat, sebuah cita-cita, yang akan mengiringi perjalanan kami dalam membangun daerah ini,” kata Hugua.
Langkah besar itu memang sudah diayunkan. Namun, mengutip keprihatinan La Ode Masihu Kamaluddin, selama kebijakan pemerintah secara umum masih berorientasi ke darat, sulit untuk menggenjot pertumbuhan pembangunan kelautan.
Sambil ”menikmati” sengkarut persoalan menjelang pemilu presiden pada 8 Juli mendatang, kita sebagai anak bangsa layak berharap: akankah muncul calon pemimpin negeri ini yang benar-benar tergerak hatinya untuk menolehkan kebijakannya ke laut? Akankah muncul kesadaran bahwa sesungguhnya tumpuan masa depan bangsa ini ada di laut…. (KEN)
Sumber: http://cetak. kompas.com/
Isu tentang bagaimana membayar utang Indonesia yang terus menumpuk, bahkan disebut-sebut begitu seorang anak lahir di negeri ini ia sudah ikut menanggung beban utang negara hingga Rp 7,7 juta, kini seperti menjadi pertanyaan dan pernyataan klise. Apalagi di tengah kebijakan pemerintah yang cenderung untuk terus berutang, lalu kapan kita akan mampu melunasinya?
Dihadapkan pada kenyataan ini, banyak kalangan pesimistis. Akan tetapi, benarkah kita sebagai bangsa tidak akan pernah bisa melunasi utang-utang yang sudah mencapai Rp 1.623 triliun tersebut hingga akhir zaman sehingga nasib negeri ini tak ubahnya bagai tokoh Sisiphus dalam mitologi Yunani Kuno, yang terus digantoli beban tak berkesudahan setiap kali harus naik ke puncak bukit?
Bagi pakar ekonomi maritim, seperti La Ode Masihu Kamaluddin, jalan untuk lepas dari ”kutukan Sisiphus” itu sebetulnya masih terbuka. ”Indonesia bisa bayar utang dari laut. Caranya? Kembangkan ekonomi maritim yang berbasis pantai,” kata Masihu, panggilan akrab lelaki kelahiran Kaledupa, sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Tukang Besi yang kini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ini.
Berkat pengembangan ekonomi maritim berbasis pantai, negara kepulauan seperti Maladewa mampu menghidupi negeri mereka dari potensi ekonomi kelautannya. Selain dari sektor perikanan dan perkapalan, lebih dari 500.000 wisatawan yang setiap tahun datang berlibur ke negara kecil di Samudra Hindia tersebut adalah sumber pendapatan utama mereka.
Sadar sebagai negara kepulauan, Maladewa memang memfokuskan pembangunan ekonomi mereka pada sektor kelautan: ekonomi berbasis pariwisata dan perikanan. Karena fokusnya jelas, hasilnya pun jelas. Dari sektor wisata bahari saja, sumbangan terhadap pendapatan kotor negara tercatat hingga 60 persen, mengantarkan pendapatan sekitar 300.000 jiwa penduduknya mencapai 3.460 dollar AS per kapita.
Baru sebatas potensi
Dalam hal potensi sumber daya laut dan pantai, Indonesia kurang apa? Selain potensi minyak dan gas bumi, seperti di blok Ambalat yang kini diincar Malaysia, emas, uranium, dan titanium pun terkandung di bawah dasar laut Nusantara. Belum lagi potensi perikanan serta keragaman jenis terumbu karang dan aneka biota laut yang bisa dikembangkan untuk kepentingan industri wisata bahari.
Dengan wilayah laut yang sangat luas dan pantai yang sangat panjang, kesempatan Indonesia untuk menggali sumber pendapatan negara memang masih terbuka lebar. Indonesia memiliki ratusan dan bahkan ribuan pulau, dengan panorama pantai dan keragaman sumber daya bawah lautnya yang tak ternilai, yang bisa dikembangkan untuk menarik kunjungan wisatawan mancanegara.
Di luar 13 kawasan wisata bahari yang diunggulkan oleh pemerintah, ratusan tempat lain juga tak kalah potensial untuk ditata. Di luar 16 lokasi penyelaman terbaik Indonesia versi hasil survei National Geographic Traveler Indonesia (NGTI), masih ada puluhan titik penyelaman lain yang bisa dikelola untuk para penjelajah bawah laut.
Sayangnya, pengelolaan wisata bahari di negara kepulauan terbesar di dunia ini—dengan potensi ekonomi kelautan yang tak ”alang kepalang” kayanya—belum menjadi suatu kebijakan yang terintegrasi. Semua masih setengah hati. Potensi laut yang begitu besar itu masih dilihat sebagai potensi semata, tanpa disertai orientasi kebijakan pengelolaan yang jelas dan terarah.
Dibandingkan dengan Thailand saja, dalam hal pengelolaan industri wisata bahari untuk bidang penyelaman, Indonesia tertinggal jauh. Meski lokasi penyelaman mereka kurang dari sepertiga yang dimiliki Indonesia, pendapatan Thailand dari wisata bahari ini sudah mencapai 240 juta dollar AS setahun. Indonesia? Hanya 10 persen dari total pendapatan mereka.
Pusat keunggulan
Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara, mencoba menangkap sinyal yang menempatkan laut sebagai harapan untuk masa depan kehidupan. Sebagai wilayah yang terletak di jantung segitiga karang dunia—meliputi enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Niugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste—Wakatobi memang dikaruniai keragaman jenis biota laut yang tak ternilai.
”Wakatobi memiliki 90 persen dari sekitar 850 jenis terumbu karang dunia dengan 914 spesies ikannya,” kata Hugua, Bupati Wakatobi.
Kekayaan laut inilah yang ingin dijadikan pusat keunggulan Wakatobi. Berangkat dengan visi besar yang terkesan ambisius, ”terwujudnya surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia”, Wakatobi pun menempatkan sektor perikanan, kelautan, dan pariwisata sebagai fokus pembangunan mereka. Untuk itu, sejumlah langkah berikut penyediaan sarana dan prasarana penopang mulai dibenahi, termasuk pembangunan bandar udara sebagai pintu gerbang masuk calon wisatawan.
”Tidak ada pilihan bagi kami, Wakatobi harus mengedepankan pembangunan ekonomi berbasis kelautan. Ini adalah niat, sebuah cita-cita, yang akan mengiringi perjalanan kami dalam membangun daerah ini,” kata Hugua.
Langkah besar itu memang sudah diayunkan. Namun, mengutip keprihatinan La Ode Masihu Kamaluddin, selama kebijakan pemerintah secara umum masih berorientasi ke darat, sulit untuk menggenjot pertumbuhan pembangunan kelautan.
Sambil ”menikmati” sengkarut persoalan menjelang pemilu presiden pada 8 Juli mendatang, kita sebagai anak bangsa layak berharap: akankah muncul calon pemimpin negeri ini yang benar-benar tergerak hatinya untuk menolehkan kebijakannya ke laut? Akankah muncul kesadaran bahwa sesungguhnya tumpuan masa depan bangsa ini ada di laut…. (KEN)
Sumber: http://cetak. kompas.com/
Laut Tak Diperhitungkan dalam Mitigasi Iklim
Jumat, 01 Januari 2010 - oleh : admin | 238 x dibaca
Jakarta, Kompas - Isu kelautan tidak masuk dalam teks Copenhagen Accord. Dengan kata lain, laut tidak diperhitung- kan dalam mitigasi perubahan iklim. Padahal, fenomena kelautan memiliki peranan besar dalam memengaruhi terjadinya perubahan iklim, yaitu dalam hal pelepasan dan penyerapan karbon dioksida.
Alan F Koropitan, dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), melontarkan ini dalam konferensi pers tentang ”Refleksi 2009 dan Proyeksi 2010 Kelautan dan Perikanan” yang di- adakan pada hari Rabu (30/12) oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Indonesia, Centre for Ocean Development and Maritime Civili- zation Studies (COMMITs), dan IPB.
Berdasarkan penelitian NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) , adanya indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan karbon dalam 20 tahun ini, maka di kemudian hari laut berpotensi untuk berbalik menjadi pelepas karbon. Jadi, laut selalu mencari keseimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer.
Peranan laut dalam hal ini lebih sebagai ”obyek penderita” akibat peningkatan emisi CO ke atmosfer sehingga tidak relevan untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon seperti halnya hutan. Karena itu, menurut Alan, lebih penting merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.
Dalam jurnal Global Change Biology belum lama ini disebutkan, skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 parts per million (ppm) pada tahun 2100 akan mengakibatkan Indonesia kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi saat ini, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.
Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan dari perairan tropis ke sub-tropis sehingga merugikan negara tropis, seperti Indonesia. Selain itu, perubahan migrasi ikan yang semakin jauh akan berimplikasi kepada usaha penangkapan ikan yang makin mahal sehing- ga membuat nelayan kian tidak berdaya. Hal ini juga men- jadi perhatian Suhana, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Selain itu, kerusakan ekosistem pesisir, seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, sebagai daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.
Alan F Koropitan mengatakan, sejauh ini tidak ada peralatan pengukuran CO di laut yang mengacu standar pada protokol JGOFS (Joint Global Ocean Flux Study) untuk menunjang studi karbon laut di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada audit emisi CO. Hal ini akan merugikan Indonesia dalam perhitungan pencapaian target penurunan karbon sebesar 26 persen. (YUN)
Sumber : http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/12/31/ 03314359/ Laut.Tak. Diperhitungkan. dalam.Mitigasi. .Iklim
Jakarta, Kompas - Isu kelautan tidak masuk dalam teks Copenhagen Accord. Dengan kata lain, laut tidak diperhitung- kan dalam mitigasi perubahan iklim. Padahal, fenomena kelautan memiliki peranan besar dalam memengaruhi terjadinya perubahan iklim, yaitu dalam hal pelepasan dan penyerapan karbon dioksida.
Alan F Koropitan, dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), melontarkan ini dalam konferensi pers tentang ”Refleksi 2009 dan Proyeksi 2010 Kelautan dan Perikanan” yang di- adakan pada hari Rabu (30/12) oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Indonesia, Centre for Ocean Development and Maritime Civili- zation Studies (COMMITs), dan IPB.
Berdasarkan penelitian NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) , adanya indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan karbon dalam 20 tahun ini, maka di kemudian hari laut berpotensi untuk berbalik menjadi pelepas karbon. Jadi, laut selalu mencari keseimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer.
Peranan laut dalam hal ini lebih sebagai ”obyek penderita” akibat peningkatan emisi CO ke atmosfer sehingga tidak relevan untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon seperti halnya hutan. Karena itu, menurut Alan, lebih penting merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.
Dalam jurnal Global Change Biology belum lama ini disebutkan, skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 parts per million (ppm) pada tahun 2100 akan mengakibatkan Indonesia kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi saat ini, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.
Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan dari perairan tropis ke sub-tropis sehingga merugikan negara tropis, seperti Indonesia. Selain itu, perubahan migrasi ikan yang semakin jauh akan berimplikasi kepada usaha penangkapan ikan yang makin mahal sehing- ga membuat nelayan kian tidak berdaya. Hal ini juga men- jadi perhatian Suhana, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Selain itu, kerusakan ekosistem pesisir, seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, sebagai daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.
Alan F Koropitan mengatakan, sejauh ini tidak ada peralatan pengukuran CO di laut yang mengacu standar pada protokol JGOFS (Joint Global Ocean Flux Study) untuk menunjang studi karbon laut di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada audit emisi CO. Hal ini akan merugikan Indonesia dalam perhitungan pencapaian target penurunan karbon sebesar 26 persen. (YUN)
Sumber : http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/12/31/ 03314359/ Laut.Tak. Diperhitungkan. dalam.Mitigasi. .Iklim
DEPHUT ALIHKAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN PELESTARIAN ALAM KE DKP
Jumat, 06 Maret 2009 - oleh : admin | 1002 x dibaca
Sebagai tindaklanjut UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, kewenangan pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) hari ini diserahterimakan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Serah terima kedua kawasan ini karena DKP dinilai sebagai departemen teknis yang memiliki visi dan misi serta kewenangan di bidang kelautan dan perikanan, termasuk didalamnya pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya sehingga pengelolaan kawasan konservasi perairan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan perikanan berkelanjutan. Serahterima kedua kawasan dilakukan secara resmi oleh Menteri Kehutanan, M.S. Kaban kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta (4/3).
Pengalihan KSA dan KPA meliputi 8 (delapan) lokasi, yaitu: (1) kawasan Perairan Laut Banda seluas 2.500 Ha, (2) sebagian Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di sekitarnya seluas 114.000 Ha Maluku, (3) kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat di Papua dan laut sekitarnya seluas 60.000 Ha, (4) Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di NTB seluas 2.954 Ha, (5) Kepulauan Kapoposan dan laut sekitarnya seluas 50.000 Ha, (6) Kepulauan Padaido beserta perairan sekitarnya seluas 183.000 Ha, (7) Kepulauan Panjang di Irian Jaya seluas 271.630 Ha, dan (8) Pulau Pieh di Sumatera Barat dan perairan sekitarnya seluas 39.900 Ha.
Sebelumnya, kerjasama DKP dan Departemen Kehutanan di bidang konservasi sudah diinisiasi sejak tahun 2003 melalui kesepakatan bersama antara Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Dephut dengan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP tentang pelaksanaan kegiatan di 6 (enam) taman nasional, yang meliputi kegiatan penguatan zonasi taman nasional, penguatan pengembangan dan penelitian, sumberdaya alam hayati, penguatan sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional, pengembangan wisata alam bahari, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan informasi dan promosi serta peningkatan kapasitas pengawasan kawasan. Selain itu, pengembangan kerjasama dilakukan juga dalam program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP II).
Dalam UU No. 31 Tahun 2004, salah satunya diatur mengenai konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya yang dilakukan melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik ikan. Konservasi sumber daya ikan tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan karena karakteristiknya yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap pengaruh iklim global maupun iklim musiman serta aspek-aspek keterkaitan (connectivity) ekosistem antar wilayah perairan baik lokal, regional maupun global berdasarkan prinsip kehati-hatian dengan dukungan bukti-bukti ilmiah.
Keanekaragaman hayati laut Indonesia sudah cukup dikenal di dunia sehingga dikenal sebagai megadiversity country, terletak di pusat segi tiga terumbu karang (coral triangle). Oleh karena itu, Presiden RI telah mendeklarasikan Coral Triangle Initiative (CTI) di Australia pada konferensi Asean Pacific Economic Conference (APEC) tahun 2007.. Deklarasi CTI tersebut menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia. Sebagai inisiator CTI, Indonesia bersama 5 negara (Malaysia, Philipina, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Solomon Islands) yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati paling kaya di planet bumi untuk bersama melestarikan dan mengembangkan pemanfaatan laut secara berkelanjutan melalui pembentukan Segitiga Terumbu Karang atau CTI. Segitiga terumbu karang tersebut mencapai luas 75.000 km2, memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang dan dihuni oleh lebih dari 3000 spesies ikan.
Pengembangan program konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya telah tercantum dalam rencana strategis (Renstra) dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2010 – 2014 DKP. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mendorong pembentukan kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia yang handal di bidang kelautan dan perikanan. Sebagai implementasi kebijakan tersebut antara lain dengan mengembangkan Unit Pelaksana Teknis di bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai bentuk implementasinya, DKP telah membentuk 7 Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam bentuk Balai dan Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, serta Balai dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional, sehingga pembentukan UPT tersebutdapat meningkatkan kinerja pengelolaan kawasan konservasi, termasuk pengelolaan 8 KSA dan KPA. Kedepan, Management Authority CITES di bidang konservasi sumberdaya ikan sebagaimana mandat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 juga dapat diserahkan dari Dephut kepada DKP.
Jakarta, Maret 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
ttd
Soen’an H. Poernomo
Narasumber:
Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K
(Ir. Agus Darmawan, M.Si/HP. 08158700095)
Sebagai tindaklanjut UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, kewenangan pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) hari ini diserahterimakan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Serah terima kedua kawasan ini karena DKP dinilai sebagai departemen teknis yang memiliki visi dan misi serta kewenangan di bidang kelautan dan perikanan, termasuk didalamnya pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya sehingga pengelolaan kawasan konservasi perairan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan perikanan berkelanjutan. Serahterima kedua kawasan dilakukan secara resmi oleh Menteri Kehutanan, M.S. Kaban kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta (4/3).
Pengalihan KSA dan KPA meliputi 8 (delapan) lokasi, yaitu: (1) kawasan Perairan Laut Banda seluas 2.500 Ha, (2) sebagian Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di sekitarnya seluas 114.000 Ha Maluku, (3) kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat di Papua dan laut sekitarnya seluas 60.000 Ha, (4) Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di NTB seluas 2.954 Ha, (5) Kepulauan Kapoposan dan laut sekitarnya seluas 50.000 Ha, (6) Kepulauan Padaido beserta perairan sekitarnya seluas 183.000 Ha, (7) Kepulauan Panjang di Irian Jaya seluas 271.630 Ha, dan (8) Pulau Pieh di Sumatera Barat dan perairan sekitarnya seluas 39.900 Ha.
Sebelumnya, kerjasama DKP dan Departemen Kehutanan di bidang konservasi sudah diinisiasi sejak tahun 2003 melalui kesepakatan bersama antara Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Dephut dengan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP tentang pelaksanaan kegiatan di 6 (enam) taman nasional, yang meliputi kegiatan penguatan zonasi taman nasional, penguatan pengembangan dan penelitian, sumberdaya alam hayati, penguatan sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional, pengembangan wisata alam bahari, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan informasi dan promosi serta peningkatan kapasitas pengawasan kawasan. Selain itu, pengembangan kerjasama dilakukan juga dalam program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP II).
Dalam UU No. 31 Tahun 2004, salah satunya diatur mengenai konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya yang dilakukan melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik ikan. Konservasi sumber daya ikan tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan karena karakteristiknya yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap pengaruh iklim global maupun iklim musiman serta aspek-aspek keterkaitan (connectivity) ekosistem antar wilayah perairan baik lokal, regional maupun global berdasarkan prinsip kehati-hatian dengan dukungan bukti-bukti ilmiah.
Keanekaragaman hayati laut Indonesia sudah cukup dikenal di dunia sehingga dikenal sebagai megadiversity country, terletak di pusat segi tiga terumbu karang (coral triangle). Oleh karena itu, Presiden RI telah mendeklarasikan Coral Triangle Initiative (CTI) di Australia pada konferensi Asean Pacific Economic Conference (APEC) tahun 2007.. Deklarasi CTI tersebut menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia. Sebagai inisiator CTI, Indonesia bersama 5 negara (Malaysia, Philipina, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Solomon Islands) yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati paling kaya di planet bumi untuk bersama melestarikan dan mengembangkan pemanfaatan laut secara berkelanjutan melalui pembentukan Segitiga Terumbu Karang atau CTI. Segitiga terumbu karang tersebut mencapai luas 75.000 km2, memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang dan dihuni oleh lebih dari 3000 spesies ikan.
Pengembangan program konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya telah tercantum dalam rencana strategis (Renstra) dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2010 – 2014 DKP. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mendorong pembentukan kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia yang handal di bidang kelautan dan perikanan. Sebagai implementasi kebijakan tersebut antara lain dengan mengembangkan Unit Pelaksana Teknis di bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai bentuk implementasinya, DKP telah membentuk 7 Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam bentuk Balai dan Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, serta Balai dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional, sehingga pembentukan UPT tersebutdapat meningkatkan kinerja pengelolaan kawasan konservasi, termasuk pengelolaan 8 KSA dan KPA. Kedepan, Management Authority CITES di bidang konservasi sumberdaya ikan sebagaimana mandat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 juga dapat diserahkan dari Dephut kepada DKP.
Jakarta, Maret 2009
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi
ttd
Soen’an H. Poernomo
Narasumber:
Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K
(Ir. Agus Darmawan, M.Si/HP. 08158700095)
PENGELOLAAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE YANG BERKELANJUTAN
1. Ekosistem Mangrove
1.1 Sumber Daya Mangrove dan Pesisir
Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada ai laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh kedua pengaruh darat dan laut.
Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.
Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain itu mangrove memainkan peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.
Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupanseperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan.
1.2 Cakupan Sumberdaya Mangrove
a. Satu atau lebih jenis tumbuhan mangrove yang hidupnya hanya di habitat mngrove
b. Satu atau lebih jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, tetapi juga dapat hidup di habitat selain mangrove
c. Berbagai jenis fauna baik fauna terestris maupun fauna laut yang bersosiasi dengan habitat mangrove, baik secara permanen maupun secara sementara
d. Semua proses alamiah yang berperan dalam memelihara kberadaan ekosistem mangrove (mis : sedimentasi)
e. Penduduk yang hidupnya bergantung pada sumber daya mangrove.
1.3 Hutan Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh.
Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar (mangrove dalam kawasan hutan).
Ketidakcocokan ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas. Angka 4,25 juta ha yang dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari data tahun 1970-an. Sumber utama lain yang tampk tidak konsisten diantara sumber-sumber data adalah estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan mangrove terluas yang berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan dan FAO 1990). Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa air tawar pada tepian zona pantai di Papua.
Data terkhir yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan.
Untuk mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut perlu dilakukan Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian dan pengelolaan yang lebih baik.
Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini memberi kesempatan khusus bagi Indonesia guna melaksanakan mandat nasional dan internasional untuk konservasi sumber daya biologi yang bermakna bagi dunia.
Walaupun angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain terutama pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an dan 90-an.
1.4 Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.
Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove.
Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.
Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri.
Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.
Barangkali ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
2. Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola Secara Berkelanjutan
Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah :
2.1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat ekonomis dan ekologis mangrove adalah :
a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :
1) Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu)
2) Hasil bukan kayu
Hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)
Jasa lingkungan (ekowisata)
b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia jenis fauna, diantaranya :
Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
Pengendali intrusi air laut
Habitat berbagai jenis fauna
Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain.
2.2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.
2.3 Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.
2.4 Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.
2.5 Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.
3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan
3.1 Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan
Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar :
a. Praktek pengelolaan SDA harus meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA dapat diperoleh secara terus menerus.
b. Dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang, oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.
Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA berkelanjutan dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola, dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi.
3.2 Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan
Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).
Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu :
a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula.
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya.
c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.
3.3 Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove
a. Kendala Aspek Teknis
1) Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu.
2) Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).
3) Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah.
b. Kendala Aspek Kelembagaan
Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya adalah :
1) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang belum sama sekali.
2) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.
3) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove
4) Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait
5) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada
6) Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove
7) Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan tersebut.
3.4 Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk kegiatan pokok, yakni :
a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatanna dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll)
c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna.
3.5 Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya
Dalam rangka menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam ktegori kawasan hutan produksi (kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang dilindungi (kawasan lindung) harus ditetapkan arahan kriterianya secara nasional. Untuk keperluan tersebut beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain adalah :
a. Kondisi fisik areal hutan
Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh
Luas areal hutan
Kondisi tanah
b. Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna).
c. Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan
d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan
e. Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya.
Berdasarkan tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka dapat dilakukan scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove berdasarkan fungsinya di suatu daerah.
Selain itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :
a. Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut
b. Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras
c. Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic
d. Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari
Sampai saat ini kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi secara lestari belum disusun secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan Mangrove) mengadakan Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop tersebut yang mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah :
Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi
Indikator :
1) Kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan
2) Perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan
3) Besaran perubahan penutupan lahan hutan akibat perambahan dan alih fungsi kawasan hutan dan gangguan lainnya
4) Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan setempat
5) Macam dan jumlah hasil hutan non kayu terjamin
6) Investasi untuk penataan dan perlindungan hutan
7) Realisasi dana yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemic, langka dan dilindungi.
8) Pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang dituangkan dalam berbagai tingkat rencana dan diimplementasikan
9) Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan
10) Efisiensi pemanfaatan hutan
11) Tingkat kerusakan pohon induk
12) Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan
13) Kelancaran dan keteraturan pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan pembinaan hutan.
14) Kesehatan perusahaan
15) Peran bagi pembangunan ekonomi wilayah
16) Sytem informasi manajemen
17) Satuan Pemeriksaan Internal (SPI)
18) Tersedianya tenaga profesional untuk perencanaan, perlindungan, produksi, pembinaan hutan dan manajemen bisnis
19) Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan
20) Peningkatan modal hutan
Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis
Indikator :
1) Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui pihak terkait.
2) Propoprsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan
3) Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi
4) Kondisi kenekaragaman spesies flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi pada berbagai formasi/ tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen
5) Intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan
6) Efektifitas penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan , dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem hutan dan pentingnya pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka
7) Intensitas dampak kegiatan kelola produksi terhadap satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
8) Pengamanan satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
Kriteria 3 : Kelestarian fungsi Sosial
Indikator :
1) Batas antara kawasan konsesnsi dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya.
2) Akses dan kontrol penuh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan hutan adat terjamin.
3) Akses pemanfaatan hasil hutan oleh komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsensi terjamin
4) Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama
5) Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi
6) Komunitas mampu mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka
7) Modal domestik berkembang
8) Peninjauan berkala terhadap kesejahteraan karyawan
9) Minimasi dampak unit manajemen pada integrasi sosial dan kultural
10) Kerjasama dengan otoritas kesehatan
11) Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
12) Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji yang adil
13) Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Sumber : Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003
1.1 Sumber Daya Mangrove dan Pesisir
Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada ai laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh kedua pengaruh darat dan laut.
Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.
Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain itu mangrove memainkan peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.
Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupanseperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan.
1.2 Cakupan Sumberdaya Mangrove
a. Satu atau lebih jenis tumbuhan mangrove yang hidupnya hanya di habitat mngrove
b. Satu atau lebih jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, tetapi juga dapat hidup di habitat selain mangrove
c. Berbagai jenis fauna baik fauna terestris maupun fauna laut yang bersosiasi dengan habitat mangrove, baik secara permanen maupun secara sementara
d. Semua proses alamiah yang berperan dalam memelihara kberadaan ekosistem mangrove (mis : sedimentasi)
e. Penduduk yang hidupnya bergantung pada sumber daya mangrove.
1.3 Hutan Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh.
Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar (mangrove dalam kawasan hutan).
Ketidakcocokan ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas. Angka 4,25 juta ha yang dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari data tahun 1970-an. Sumber utama lain yang tampk tidak konsisten diantara sumber-sumber data adalah estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan mangrove terluas yang berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan dan FAO 1990). Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa air tawar pada tepian zona pantai di Papua.
Data terkhir yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan.
Untuk mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut perlu dilakukan Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian dan pengelolaan yang lebih baik.
Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini memberi kesempatan khusus bagi Indonesia guna melaksanakan mandat nasional dan internasional untuk konservasi sumber daya biologi yang bermakna bagi dunia.
Walaupun angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain terutama pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an dan 90-an.
1.4 Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.
Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove.
Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.
Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri.
Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.
Barangkali ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
2. Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola Secara Berkelanjutan
Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah :
2.1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat ekonomis dan ekologis mangrove adalah :
a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :
1) Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu)
2) Hasil bukan kayu
Hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)
Jasa lingkungan (ekowisata)
b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia jenis fauna, diantaranya :
Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
Pengendali intrusi air laut
Habitat berbagai jenis fauna
Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain.
2.2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.
2.3 Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.
2.4 Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.
2.5 Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.
3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan
3.1 Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan
Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar :
a. Praktek pengelolaan SDA harus meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA dapat diperoleh secara terus menerus.
b. Dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang, oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.
Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA berkelanjutan dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola, dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi.
3.2 Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan
Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).
Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu :
a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula.
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya.
c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.
3.3 Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove
a. Kendala Aspek Teknis
1) Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu.
2) Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).
3) Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah.
b. Kendala Aspek Kelembagaan
Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya adalah :
1) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang belum sama sekali.
2) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.
3) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove
4) Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait
5) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada
6) Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove
7) Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan tersebut.
3.4 Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk kegiatan pokok, yakni :
a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatanna dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll)
c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna.
3.5 Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya
Dalam rangka menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam ktegori kawasan hutan produksi (kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang dilindungi (kawasan lindung) harus ditetapkan arahan kriterianya secara nasional. Untuk keperluan tersebut beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain adalah :
a. Kondisi fisik areal hutan
Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh
Luas areal hutan
Kondisi tanah
b. Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna).
c. Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan
d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan
e. Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya.
Berdasarkan tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka dapat dilakukan scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove berdasarkan fungsinya di suatu daerah.
Selain itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :
a. Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut
b. Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras
c. Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic
d. Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari
Sampai saat ini kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi secara lestari belum disusun secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan Mangrove) mengadakan Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop tersebut yang mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah :
Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi
Indikator :
1) Kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan
2) Perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan
3) Besaran perubahan penutupan lahan hutan akibat perambahan dan alih fungsi kawasan hutan dan gangguan lainnya
4) Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan setempat
5) Macam dan jumlah hasil hutan non kayu terjamin
6) Investasi untuk penataan dan perlindungan hutan
7) Realisasi dana yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemic, langka dan dilindungi.
8) Pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang dituangkan dalam berbagai tingkat rencana dan diimplementasikan
9) Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan
10) Efisiensi pemanfaatan hutan
11) Tingkat kerusakan pohon induk
12) Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan
13) Kelancaran dan keteraturan pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan pembinaan hutan.
14) Kesehatan perusahaan
15) Peran bagi pembangunan ekonomi wilayah
16) Sytem informasi manajemen
17) Satuan Pemeriksaan Internal (SPI)
18) Tersedianya tenaga profesional untuk perencanaan, perlindungan, produksi, pembinaan hutan dan manajemen bisnis
19) Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan
20) Peningkatan modal hutan
Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis
Indikator :
1) Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui pihak terkait.
2) Propoprsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan
3) Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi
4) Kondisi kenekaragaman spesies flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi pada berbagai formasi/ tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen
5) Intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan
6) Efektifitas penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan , dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem hutan dan pentingnya pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka
7) Intensitas dampak kegiatan kelola produksi terhadap satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
8) Pengamanan satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya
Kriteria 3 : Kelestarian fungsi Sosial
Indikator :
1) Batas antara kawasan konsesnsi dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya.
2) Akses dan kontrol penuh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan hutan adat terjamin.
3) Akses pemanfaatan hasil hutan oleh komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsensi terjamin
4) Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama
5) Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi
6) Komunitas mampu mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka
7) Modal domestik berkembang
8) Peninjauan berkala terhadap kesejahteraan karyawan
9) Minimasi dampak unit manajemen pada integrasi sosial dan kultural
10) Kerjasama dengan otoritas kesehatan
11) Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
12) Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji yang adil
13) Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Sumber : Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003
Pertemuan Tiga Negara Untuk Efektifitas Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Kelautan
Written by Administrator Lingkungan Hidup, Tentang Batam Jul 30, 2009
BATAM – Sumberdaya hayati dalam suatu kesatuan besar dari daratan dan lautan dari beragam karakteristik spesies, komunitas, dinamika dan kondisi lingkungan. Dimana satu dengan lainnya saling tergantung dan keterkaitan yang kuat antara sumber daya hayati dan ekosistem pada skala region. Oleh karena itu diperlukan pendekatan khusus dalam pengelolaan konservasi yang lebih luas, komprehensif dan terintegrasi dengan pendekatan wilayah ekologi ketimbang wilayah politis.
Hal yang diperhatikan kesejahteraan manusia untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, dengan tetap menghormati kedaulatan serta jurisdiksi masing-masing negara.
Wakil Walikota Batam, Bapak Ir H Ria Saptarika menghadiri pertemuan tiga negara dalam acara Sulu – Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) keempat yang diadakan di Batam tepatnya di Batam View Beach Resort Nongsa (28 s/d 30 Juli 2009).
Dalam sambutannya Ria mengatakan, walaupun Batam bukanlah area dari Sulu – Sulawesi Marine Ecoregion namun acara ini sangat memberi kontribusi yang baik bagi Kota Batam. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memberikan kontribusi dalam mengefektifkan menagemen pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan kelautan untuk keselamatan komunitas pesisir kita dalam tiga negara, indonesia , malaysia dan philipina.
Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) merupakan suatu kawasan yang berlokasi di pusat segitiga karang (the coral triangle), kawasan ini di huni oleh megabiodiversity antara lain 400 spesies alga laut, 16 spesies lamun, 5 dari 7 spesies penyu di dunia, 22 spesies mamalia laut dan semua potensi hayati yang bernilai ekonomi tinggi. Sekitar 45 juta jiwa manusia hidup di kawasan ini.
Ria mengatakan, bahwa salah satu tempat penting untuk pengembangan keputusan yang signifikan yang dapat diambil dari beberapa sektor, antara tingkat nasional dan maupun internasional. Salah satunya adalah dengan diadakannya pertemuan ke empat tiga negara dalam acara SSME, pertemuan tingkat tinggi dalam acara kerjasama regional marine untuk kelestarian alam antara tiga negara : Indonesia , Malaysia dan Filipina dalam rangka kegiatan SSME.
Sejak tahun 2004, Batam salah satu daerah di Indonesia yang berkembang dalam bidang terumbu karang dan rehabilitasi (Core Map), sebuah program Nasional di bawah kementerian Kelautan dan perikanan. program ini bertujuan untuk meningkatkan respon institusi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pesisir untuk mendukung kerjasama pemeliharaan persediaan laut dan melindungi area laut. Kegiatan – Kegiatan seperti bantuan teknis, pelatihan, hukum dan masukan untuk mencapai sebuah pergeseran paradigma dari sentralisasi ke lokal pengelolaan terumbu karang dan ekosistem terkait telah disediakan . Pemberdayaan masyarakat pesisir dan institusi di daerah pesisir untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kesadaran publik dan pendidikan untuk menutup kesenjangan pengetahuan tentang manfaat konservasi dan penggunaan berkelanjutan dari ekosistem terumbu karang. pada akhirnya, program ini diharapkan pada hasil dari perubahan perilaku masyarakat yang merusak laut dan pesisir untuk pemanfaatan dan pengelolaan yang produktif .
Menurut Ria, upaya untuk menangani dan menestarikan sumberdaya wilayah pesisir dan kelautan, sampai saat ini telah menghadapi banyak masalah dan perubahan, khususnya yang berkaitan dengan ilegal, tidak dilaporkan dan praktek penangkapan ikan yg tak diatur, zat beracun, dan praktek pengeboman ikan, dan pertambangan pasir yang memilki pengaruh yang sangat besar terhadap kemunduran dari sumberdaya wilayah pesisir dan kelautan dan ekosistem.
Ria berharap, dengan adanya pertemuan keempat antara komite tiga negara ini dapat menjawab pertanyaan yang sering di pertanyakan bagaimana upaya pemeliharaan laut dapat memberikan kontribusi pengurangan kemiskinan, bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pesisir, dan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. <nn-wr>
Foto Lainnya:
(*humas_crew/ttn&nn)
Minggu, 06 Februari 2011
Inilah Cara Membuat Peta Berdasarkan Google Map API 0
Jika Anda ingin membuat peta berdasarkan Google Map, seperti contoh di bawah ini, maka sebelumnya Anda harus memiliki akun di google.com. Nah jika sudah ada, maka masuklah ke http://code.google.com/apis/maps/signup.html untuk mendaftar untuk bisa mendapatkan Google Map API. Setelah proses pendaftaran selesai, Anda akan diberikan key yang akan digunakan setiap kali Anda menggunakan google map.Untuk penggunaan secara statis mungkin gampang saja. Tinggal cari peta lokasi yang Anda inginkan, copy link di menu Link yang ada dibagian kanan atas dan paste-kan script yang ada di Paste HTML to embed in website ke website/blog Anda. Contoh di bawah ini saya menggunakan script dengan kata kunci Banda Aceh-Indonesia, dan saya memperoleh script:
dan hasilnya:
View Larger Map
Tapi jika ingin yang dinamis, misalnya peta yang ditampilkan berdasarkan informasi dari user maka ada baiknya
Anda perhatikan penjelasan dibawah ini :
Pertama, dapatkan lokasi peta berdasarkan koordinat (latitude, longitude) yang Anda masukkan, menggunakan perintah sebagai berikut :
contoh :
Hasilnya klik disini
Kedua, bisa mendapatkan lokasi peta berdasarkan nama lokasi yang Anda masukkan kemudian akan diproses google untuk mendapatkan koordinatnya (latitude dan logitude), gunakan perintah sebagai berikut :
contoh :
Hasilnya klik disini, yaitu 200,4,5.5461820,95.3190540
Lalu untuk melihat hasilnya masukkan latitude dan longitude ke perintah cara pertama, yaitu:
Hasilnya klik disini
nah, selesai sudah..
"<iframe width="425" height="350" frameborder="0" scrolling="no"
marginheight="0" marginwidth="0" src="http://maps.google.com/maps?f=q&source=s_q&hl=en&geocode=&q=Banda+Aceh,+Aceh,+Indonesia&sll=37.0625,-95.677068&sspn=33.984987,79.013672&ie=UTF8&hq=&hnear=Banda+Aceh,+Aceh,+Indonesia&z=12&ll=5.546182,95.319054&output=embed"></iframe><br
/><small><a href="http://maps.google.com/maps?f=q&source=embed&hl=en&geocode=&q=Banda+Aceh,+Aceh,+Indonesia&sll=37.0625,-95.677068&sspn=33.984987,79.013672&ie=UTF8&hq=&hnear=Banda+Aceh,+Aceh,+Indonesia&z=12&ll=5.546182,95.319054"
style="color:#0000FF;text-align:left">View Larger Map</a></small>"code>
dan hasilnya:
View Larger Map
Tapi jika ingin yang dinamis, misalnya peta yang ditampilkan berdasarkan informasi dari user maka ada baiknya
Anda perhatikan penjelasan dibawah ini :
Pertama, dapatkan lokasi peta berdasarkan koordinat (latitude, longitude) yang Anda masukkan, menggunakan perintah sebagai berikut :
http://maps.google.com/staticmap?center=<latitude>,<longitude>&format=<format>&zoom=<ukuran>&size=<width>x<height>&key=<API_KEY>
contoh :
http://maps.google.com/staticmap?center=5.5461820,95.3190540&format=png&zoom=10&size=340x320&key=ABQIAAAAXto36qF0RwRfpncFvjUI5RQzfW8Q0BQ_Gq4eRsWLVPNpsALKKBR0RYiKVbvoyajymbD5bSr1GfqJ9w
Hasilnya klik disini
Kedua, bisa mendapatkan lokasi peta berdasarkan nama lokasi yang Anda masukkan kemudian akan diproses google untuk mendapatkan koordinatnya (latitude dan logitude), gunakan perintah sebagai berikut :
http://maps.google.com/maps/geo?q=<location>&output=csv&key=<API_KEY>
>contoh :
http://maps.google.com/maps/geo?q=Banda%20Aceh%20Indonesia&output=csv&key=ABQIAAAAXto36qF0RwRfpncFvjUI5RQzfW8Q0BQ_Gq4eRsWLVPNpsALKKBR0RYiKVbvoyajymbD5bSr1GfqJ9w
Hasilnya klik disini, yaitu 200,4,5.5461820,95.3190540
Lalu untuk melihat hasilnya masukkan latitude dan longitude ke perintah cara pertama, yaitu:
http://maps.google.com/staticmap?center=5.5461820,95.3190540&format=png&zoom=14&size=240x320&key=ABQIAAAAXto36qF0RwRfpncFvjUI5RQzfW8Q0BQ_Gq4eRsWLVPNpsALKKBR0RYiKVbvoyajymbD5bSr1GfqJ9w
Hasilnya klik disini
nah, selesai sudah..
Incoming search terms:
Langganan:
Postingan (Atom)