Jumat, 01 Januari 2010 - oleh : admin | 238 x dibaca
Jakarta, Kompas - Isu kelautan tidak masuk dalam teks Copenhagen Accord. Dengan kata lain, laut tidak diperhitung- kan dalam mitigasi perubahan iklim. Padahal, fenomena kelautan memiliki peranan besar dalam memengaruhi terjadinya perubahan iklim, yaitu dalam hal pelepasan dan penyerapan karbon dioksida.
Alan F Koropitan, dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), melontarkan ini dalam konferensi pers tentang ”Refleksi 2009 dan Proyeksi 2010 Kelautan dan Perikanan” yang di- adakan pada hari Rabu (30/12) oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Indonesia, Centre for Ocean Development and Maritime Civili- zation Studies (COMMITs), dan IPB.
Berdasarkan penelitian NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) , adanya indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan karbon dalam 20 tahun ini, maka di kemudian hari laut berpotensi untuk berbalik menjadi pelepas karbon. Jadi, laut selalu mencari keseimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer.
Peranan laut dalam hal ini lebih sebagai ”obyek penderita” akibat peningkatan emisi CO ke atmosfer sehingga tidak relevan untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon seperti halnya hutan. Karena itu, menurut Alan, lebih penting merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.
Dalam jurnal Global Change Biology belum lama ini disebutkan, skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 parts per million (ppm) pada tahun 2100 akan mengakibatkan Indonesia kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi saat ini, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.
Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan dari perairan tropis ke sub-tropis sehingga merugikan negara tropis, seperti Indonesia. Selain itu, perubahan migrasi ikan yang semakin jauh akan berimplikasi kepada usaha penangkapan ikan yang makin mahal sehing- ga membuat nelayan kian tidak berdaya. Hal ini juga men- jadi perhatian Suhana, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Selain itu, kerusakan ekosistem pesisir, seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, sebagai daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.
Alan F Koropitan mengatakan, sejauh ini tidak ada peralatan pengukuran CO di laut yang mengacu standar pada protokol JGOFS (Joint Global Ocean Flux Study) untuk menunjang studi karbon laut di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada audit emisi CO. Hal ini akan merugikan Indonesia dalam perhitungan pencapaian target penurunan karbon sebesar 26 persen. (YUN)
Sumber : http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/12/31/ 03314359/ Laut.Tak. Diperhitungkan. dalam.Mitigasi. .Iklim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar