Sabtu, 30 April 2011


JAKARTA, SELASA — Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Young Boon Yeo, Selasa (10/3) di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri, Jakarta, menandatangani perjanjian penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian Selat Singapura. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama delapan kali.

Kesepakatan perbatasan ini merupakan kelanjutan dari garis batas laut wilayah yang disepakati sebelumnya pada perjanjian serupa bulan Mei 1973. Dalam jumpa pers bersama, Hassan menegaskan, terkait isu perbatasan, Indonesia selalu mengedepankan dialog dan negosiasi.

"Penandatanganan ini memperkuat hubungan Indonesia dan Singapura," ujar Hassan.

Dikatakan Hassan, Indonesia dan Singapura juga sepakat merundingkan batas laut wilayah Timur I dan II, yakni antara Batam dan Changi, dan Bintan dan South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca. Sementara itu, George Yeoh mengatakan, penandatanganan tersebut merupakan milestone penting dalam hubungan di antara kedua negara bersahabat. Selain itu, penandatanganan tersebut cerminan hubungan baik Indonesia-Singapura. "Dalam banyak isu, Indonesia dan Singapura memiliki kesamaan pandangan," ujar George.

Tim teknis perunding batas maritim Indonesia terdiri dari beberapa departemen dan instansi lintas sektoral, yakni Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Perhubungan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Markas Besar TNI, serta Bakosurtanal.

Pencemaran Laut Indonesia Masih Tinggi

PADANG, KOMPAS.com - Tingkat pencemaran lingkungan laut Indonesia masih tinggi, ditandai antar lain dengan terjadinya eutrofikasi atau meningkatnya jumlah nutrisi disebabkan oleh polutan.

"Nutrisi yang berlebihan tersebut, umumnya berasal dari limbah industri, limbah domestik seperti deterjen, maupun aktivitas budidaya pertanian di daerah aliran sungai yang masuk ke laut," kata Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pusdatin KKP), Soen`an H. Poernomo, Minggu (16/5/2010).

Pencemaran di laut bisa pula ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fitoplankton/algae yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk.

Kasus-kasus pencemaran di lingkungan laut, yang disebut red tide itu, antara lain terjadi di muara-muara sungai, seperti di Teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006.

Di Ambon terjadi pada tahun 1994 dan 1997, di perairan Cirebon-Indramayu tahun 2006 dan 2007, Selat Bali dan muara sungai di perairan pantai Bali Timur tahun 1994, 1998, 2003, 2007, dan di Nusa Tenggara Timur tahun 1983, 1985, 1989.

Meski kerap terjadi, inventarisasi terjadinya red tide di Indonesia sampai saat ini masih belum terdata dengan baik, termasuk kerugian yang dialami.

"Mungkin kurangnya pendataan red tide ini disebabkan oleh kejadiannya yang hanya dalam waktu singkat," katanya.

Karena itu untuk menanggulangi red tide sebagai bencana, beberapa lembaga Pemerintah dan institusi pendidikan telah melakukan penelitian meskipun masih dilakukan secara sporadis.

Secara umum, kerugian secara ekonomi akibat dari red tide ini, adalah tangkapan nelayan yang menurun drastis, gagal panen para petambak udang dan bandeng, serta berkurangnya wisatawan karena pantai menjadi kotor dan bau oleh bangkai ikan.

Efek terjadinya red tide juga ditunjukkan penurunan kadar oksigen serta meningkatnya kadar toksin yang menyebabkan matinya biota laut, penurunan kualitas air, serta tentunya menganggu kestabilan populasi organisme laut.

"Akibat lautan tertutup dengan algae pada saat berlimpah, maka matahari sulit untuk menempuh ke dasar laut dan pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam laut," katanya.

Selain itu, sebagian algae juga mengandung toksin atau racun yang dapat menyebabkan matinya ikan dan mengancam kesehatan manusia bahkan menyebabkan kematian apabila mengkonsumsi ikan yang mati tersebut.

"Tanpa adanya limbah, sebagai fenomena alam sesungguhnya meningkatnya pertumbuhan algae ini sangat jarang terjadi," katanya.

Ekspedisi Ungkap Kekayaan Laut Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia akan menyelenggarakan tiga ekspedisi kelautan di perairan Indonesia bekerja sama dengan Amerika Serikat, Australia, Timor Leste, dan China. Ekspedisi ini bertujuan mengungkap kekayaan biota laut Indonesia.

"Banyak fenomena dan informasi yang akan didapatkan melalui ekspedisi ini. Misalnya dinamika kelautannya, habitatnya, juga biota yang ada," ungkap Kepala Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati Kementerian Kelautan Dan Perikanan Budi Sulistyo di Jakarta, Jumat (7/5/2010).

Tiga ekspedisi pelayaran akan dilakukan di perairan laut selatan Jawa, yakni di Samudra Hindia, Laut Arafura di timur Indonesia, dan perairan Sulawesi Utara di sekitar Sangihe Talaud. Untuk perairan Sangihe Talaud, ekspedisi akan dilakukan kapal riset Indonesia Baruna Jaya IV dan kapal riset Amerika Okeanos.

"Okeanos akan berangkat dari Guam, Hawaii, Amerika Serikat, dan memulai penelitian bersama kita pada pertengahan Juli hingga 8 Agustus 2010 mendatang," jelas Budi.

Ia menjelaskan, perairan Sangihe Talaud mempunyai keunikan tersendiri. Di bawah permukaan air di daerah tersebut terdapat gunung berapi yang aktif. "Biota bawah laut perairan Sangihe Talaud juga unik, di sana ada udang yang bisa hidup sampai suhu 400 derajat celsius karena adanya gunung berapi. Itu juga yang akan kita riset," tutur Budi.

Ditambahkan, kapal riset Amerika Okeanos mampu merekam keadaan bawah laut hingga kedalaman 4.000 meter di dasar laut. "Itu untuk kemampuan rekam videonya, sedangkan untuk memetakan keadaan bawah laut, sonarnya mampu mencapai kedalaman 6.000 meter di dasar laut," jelasnya. Budi berharap, dengan kemampuan itu, dinamika kelautan di Sangihe Talaud dapat diketahui.

Selanjutnya, untuk perairan timur Indonesia di laut Arafura, ekspedisi akan dilakukan kapal riset Indonesia Baruna Jaya VIII atas kerja sama Australia dan Timor Leste. "Perairan Laut Arafura kan berada di dekat ketiga negara itu, maka terjadi kerja sama ekspedisi pada 10 hingga 27 Mei mendatang," kata Budi.

Sementara di perairan selatan Jawa, ekspedisi pelayaran akan dilakukan kapal riset Indonesia Baruna Jaya III bekerja sama dengan The First Institute of Oceanography (FIO), lembaga peneliti dari China. "Ekspedisi selatan Jawa akan dilakukan mulai dari perairan Sukabumi hingga ke Cilacap," jelasnya.